Rp6,65 triliun kembali mengalir ke tubuh Garuda Indonesia. Uang itu bukan dari kas negara, melainkan pinjaman pemegang saham dari PT Danantara Asset Management (Persero).
Meski ini dianggap tonggak penting bagi transformasi Garuda, pertanyaan mendasarnya tetap menggantung: akankah ini jadi solusi jangka panjang, atau sekadar suntikan adrenalin sebelum kolaps berikutnya?
Dana tersebut akan digunakan untuk pemeliharaan dan kesiapan armada Garuda dan Citilink. Total dukungan pendanaan mencapai 1 miliar dolar AS.
Namun, angka besar ini tak otomatis menjamin perubahan mendasar. Sebab akar persoalan Garuda bukan hanya pada kekurangan dana.
Masalahnya terletak pada tata kelola, inefisiensi, dan ketergantungan pada kebijakan tambal sulam yang tak pernah menyentuh inti persoalan.
Danantara berjanji mendampingi proses transformasi secara profesional dan terukur. Mereka menyebut pendekatan institusional, evaluasi berkala, dan prinsip tata kelola yang baik.
Itu terdengar menjanjikan. Tapi sejarah membuktikan, janji reformasi sering kandas jika tak menyentuh struktur internal yang bermasalah.
Krisis Garuda bukan baru terjadi. Maskapai ini pernah mengajukan PKPU, terlilit utang besar, dan hampir bangkrut.
Langkah-langkah efisiensi pasca-COVID-19 masih menyisakan beban. Kini, Garuda kembali diselamatkan—kali ini dalam format baru: investor negara lewat Danantara.
Kita juga tak bisa menutup mata terhadap potensi politisasi. Jika tak diawasi, suntikan ini bisa mengulang pola lama: proyek penyehatan mahal tanpa pembenahan substansial.
Apalagi dalam kultur BUMN, reformasi sering jadi jargon. Keberanian menyentuh zona nyaman elite pengelola masih sangat minim.
Kepemimpinan Garuda kini memikul tanggung jawab besar. Mereka harus membuktikan bahwa transformasi bukan sekadar manuver keuangan.
Tapi perubahan budaya kerja, efisiensi operasi, dan optimalisasi layanan harus jadi fokus utama. Jika tidak, triliunan rupiah hanya akan jadi napas buatan.
Segmentasi Garuda dan Citilink—sebagai FSC dan LCC—memang langkah logis. Tapi tantangannya terletak pada efisiensi biaya dan manajemen rute.
Pengelolaan SDM, aset, serta kontrak jangka panjang yang boros harus dibenahi. Danantara harus punya kuasa untuk mengatur ulang semuanya.
Publik berhak tahu ke mana dana ini akan digunakan. Tak cukup hanya klaim “untuk perawatan dan operasional”.
Setiap rupiah, langsung maupun tidak dari negara, wajib dipertanggungjawabkan secara terbuka dan terperinci.
Transparansi bukan hanya laporan keuangan. Tapi juga menyangkut strategi bisnis dan siapa saja aktor di balik pengambilan keputusan penting.
Transformasi sejati tak cukup dengan dana. Arah baru harus ditetapkan dengan tegas dan konsisten.
Keputusan sulit seperti restrukturisasi rute, efisiensi pegawai, dan pelepasan aset non-produktif tak bisa ditunda.
Jika tidak dilakukan, suntikan ini hanya akan jadi penundaan dari krisis berikutnya—bukan penyembuhan.
Pemerintah dan publik harus aktif mengawasi. Jangan sampai Garuda hanya “sembuh” di atas kertas.
Reformasi harus menyentuh akar: manajemen, sistem gaji, hingga mentalitas “too big to fail” yang kerap jadi dalih kegagalan.
Nasib Garuda bukan soal dana saja. Tapi soal keberanian berubah.
Dan keberanian itu hanya muncul jika tekanan dari pemegang saham, publik, dan sistem berjalan bersamaan.