Ketika sebuah program bernilai triliunan rupiah diluncurkan dengan tujuan mulia, ada satu pertanyaan yang selalu muncul: siapa yang benar-benar diuntungkan? Program Makan Bergizi Gratis (MBG), dengan anggaran Rp171 triliun, seharusnya menjadi angin segar bagi gizi anak-anak Indonesia. Namun, realitasnya bisa jauh lebih kompleks. Jika tidak dikelola dengan transparan dan adil, program ini justru bisa menguntungkan segelintir pemain besar, sementara pelaku usaha kecil—yang seharusnya diberdayakan—hanya jadi penonton.
Pemerintah mengklaim bahwa MBG akan menggerakkan ekonomi rakyat dengan melibatkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Namun, sejarah menunjukkan bahwa proyek besar sering kali jatuh ke tangan korporasi yang memiliki akses lebih besar terhadap pengadaan pemerintah. Ada celah regulasi yang memungkinkan perusahaan besar menyamar sebagai UMKM agar bisa meraup keuntungan dari anggaran jumbo ini.
Skenario ini bukan hal baru. Dalam banyak program bantuan sosial atau pengadaan barang dan jasa pemerintah, pemenang tender sering kali bukan pelaku usaha kecil yang benar-benar membutuhkan, melainkan jaringan bisnis besar yang mampu memanipulasi aturan. Jika skema ini terulang dalam MBG, bukan hanya keadilan ekonomi yang tercederai, tetapi juga esensi dari program itu sendiri.
Dalam banyak sekolah di Indonesia, kantin dan pedagang kecil di sekitar lingkungan sekolah telah lama menjadi bagian dari ekosistem ekonomi masyarakat. Mereka menjual makanan ringan dan lauk pauk dengan harga terjangkau. Namun, dengan kehadiran MBG, ada risiko mereka kehilangan pelanggan utama: para siswa.
Jika pemerintah lebih berpihak kepada perusahaan besar, maka pedagang kecil yang sudah bertahun-tahun berjualan di lingkungan sekolah akan kehilangan pendapatan. Ketika anak-anak mendapatkan makanan gratis dari program ini, daya beli mereka terhadap produk pedagang kecil otomatis menurun. Hal ini bisa menjadi bencana bagi mereka yang selama ini mengandalkan sekolah sebagai pasar utama.
Kita tidak bisa menutup mata terhadap potensi dampak ini. Sebuah kebijakan yang dirancang untuk memberi manfaat bagi satu kelompok tidak boleh mengorbankan kelompok lain yang lebih rentan. Apalagi, UMKM menyumbang lebih dari 60% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dan menyerap 97% tenaga kerja nasional. Jika MBG tidak dikelola dengan baik, program ini justru bisa menghancurkan fondasi ekonomi rakyat yang seharusnya diperkuat.
Program sebesar MBG adalah peluang besar bagi konglomerat untuk memperluas dominasi mereka di sektor pangan dan distribusi. Jika tidak ada mekanisme yang ketat untuk memastikan hanya UMKM asli yang terlibat, maka perusahaan besar bisa dengan mudah menyusup ke dalam rantai pasokan.
Modusnya bisa beragam: mulai dari mendirikan anak usaha berlabel UMKM, menggunakan pihak ketiga untuk memenangkan tender, hingga memanfaatkan relasi politik untuk memperoleh keuntungan. Semua ini bukan sekadar kemungkinan, tetapi kenyataan yang sering terjadi dalam berbagai proyek pengadaan di Indonesia.
Jika pemerintah tidak ingin MBG menjadi “pesta makan” bagi konglomerat, maka sistem seleksi harus diperketat. UMKM yang terlibat harus diverifikasi dengan ketat, termasuk memastikan bahwa mereka benar-benar memenuhi kriteria sebagai usaha kecil. Selain itu, transparansi dalam pengadaan harus ditingkatkan, dengan mekanisme pengawasan yang melibatkan publik dan masyarakat sipil.
Pemerintah juga harus menetapkan batasan yang jelas mengenai kapasitas produksi dan distribusi. Jangan sampai hanya karena alasan efisiensi, kontrak pengadaan makanan diberikan kepada perusahaan besar yang bisa menyediakan dalam jumlah besar dengan harga lebih murah. Logika ini sering digunakan dalam proyek besar, tetapi pada akhirnya hanya menguntungkan segelintir pemain yang sudah mapan.
Salah satu solusi terbaik adalah menyerahkan pengelolaan MBG langsung kepada pihak sekolah dan komunitas setempat. Dengan cara ini, sekolah bisa bermitra dengan pedagang kecil dan warung lokal untuk memasok makanan bagi siswa.
Model ini bukan hanya memastikan bahwa manfaat ekonomi tetap berada di tangan rakyat kecil, tetapi juga meningkatkan kualitas makanan yang diberikan. Pedagang lokal lebih memahami selera dan kebutuhan gizi anak-anak di komunitas mereka dibandingkan perusahaan besar yang hanya melihat program ini sebagai bisnis.
Selain itu, pemerintah bisa membentuk tim pengawas independen yang terdiri dari perwakilan guru, orang tua, dan komunitas lokal untuk memastikan transparansi dalam distribusi makanan. Setiap sekolah bisa memiliki mekanisme pelaporan langsung untuk menghindari penyimpangan dalam pelaksanaan program.
Penguatan infrastruktur logistik juga diperlukan agar makanan yang diberikan benar-benar bergizi dan layak konsumsi. Jangan sampai MBG hanya menjadi proyek besar yang dalam praktiknya gagal memberikan manfaat nyata bagi anak-anak Indonesia.
MBG bukan hanya tentang memberi makan anak-anak. Program ini harus menjadi instrumen kebijakan yang lebih luas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Itu berarti tidak boleh ada celah bagi segelintir pihak untuk menguasai program ini demi keuntungan sendiri.
Jika pemerintah serius ingin memperbaiki gizi anak-anak dan memberdayakan ekonomi rakyat, maka prinsip keadilan dan transparansi harus menjadi landasan utama. Tanpa itu, MBG hanya akan menjadi proyek mercusuar yang gagal mencapai tujuan utamanya.
Karena yang lebih penting dari sekadar kenyang adalah keberlanjutan kesejahteraan bagi semua.