Skandal terbaru peradilan kembali mengoyak kepercayaan publik terhadap sistem hukum di Indonesia. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung.
Ia diduga menerima suap sebesar Rp60 miliar. Uang itu disebut-sebut terkait perkara ekspor minyak sawit mentah—isu strategis yang menyentuh nadi perekonomian nasional.
Fakta ini bukan sekadar berita kriminal. Ini peringatan keras bahwa pengawasan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sedang berada di titik nadir.
Ketika hakim pada level tertinggi bisa dibeli, maka keadilan berubah menjadi barang dagangan. Bagaimana hukum bisa tegak jika penjaganya sudah runtuh oleh kekuasaan uang?
DPR melalui Anggota Komisi III, Hinca Panjaitan, menyebut ini kegagalan pengawasan struktural. Dalam sistem demokrasi, pengadilan adalah tiang keadilan.
Namun, ketika tiang itu keropos, maka seluruh bangunan hukum ikut runtuh.
Kasus ini bukan yang pertama. Dalam beberapa tahun terakhir, publik telah menyaksikan rentetan kasus serupa. Dari Surabaya, Medan, kini Jakarta Selatan.
Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat, sejak 2017 hingga 2024, setidaknya 16 hakim terjerat korupsi.
Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut lembaga peradilan menempati posisi ketiga dalam jumlah pejabat yang ditangkap karena korupsi.
Ini bukan kebetulan. Ini adalah kerusakan yang dibiarkan tumbuh dari dalam.
Kegagalan Mahkamah Agung dalam menjaga integritas internal patut dipertanyakan. Apakah sistem mutasi dan promosi sudah transparan? Apakah pengawasan etik sungguh berjalan?
Sering kali, sanksi terhadap hakim korup hanya administratif. Tidak ada proses hukum menyeluruh.
Padahal, kerusakan moral pada hakim berdampak jauh lebih besar daripada pelanggaran oleh pejabat eksekutif biasa.
Komisi Yudisial juga tidak luput dari sorotan. Lembaga ini seharusnya menjadi pengawas eksternal yang tajam.
Namun, laporan tahunan KY tahun 2023 menunjukkan bahwa dari 1.800 laporan masyarakat, hanya sekitar 15 persen yang diproses lanjut.
Sisanya mengendap dalam birokrasi. Ini menimbulkan kesan bahwa pengawasan hanyalah simbolik.
Kasus Ketua PN Jaksel makin buruk karena menyangkut kepentingan ekonomi besar: ekspor minyak sawit.Minyak sawit adalah komoditas utama Indonesia. Ia menyumbang devisa besar dan menyangkut hajat hidup jutaan petani.
Putusan pengadilan atas kasus ini memengaruhi harga pasar, iklim investasi, dan kestabilan ekonomi.
Ketika putusan itu bisa dibeli, kerusakannya bukan hanya pada hukum, tetapi juga ekonomi nasional.
Ini menunjukkan adanya pertautan kuat antara yudikatif dan kekuatan modal.
Dunia peradilan seolah tidak lagi steril dari kepentingan oligarki ekonomi.
Ini sangat berbahaya. Hukum tidak lagi melindungi rakyat, tetapi melegitimasi transaksi gelap.Dampaknya pada masyarakat sangat nyata. Warga yang menggantungkan harapan pada keadilan akan merasa dikhianati.
Mereka yang tidak punya uang akan selalu kalah dalam persidangan.
Ketimpangan hukum menjadi nyata. Keadilan menjadi mewah dan langka.
Lalu, apa yang bisa dilakukan?
Pertama, audit menyeluruh terhadap sistem pengawasan hakim di Mahkamah Agung sangat mendesak.
Bukan audit administratif, tapi audit integritas. Lembaga independen seperti KPK, ICW, dan LSM hukum harus dilibatkan.
Kedua, Komisi Yudisial harus diberi kewenangan lebih luas.
Revisi undang-undang tentang KY perlu segera dilakukan agar lembaga ini tak jadi macan ompong.
Ketiga, sistem seleksi dan promosi hakim harus transparan dan berbasis rekam jejak.
Penempatan hakim di kota besar dengan perkara bernilai tinggi perlu dikawal ketat.
Digitalisasi proses rekrutmen bisa menjadi solusi untuk menutup celah kolusi.
Keempat, pendidikan antikorupsi bagi calon hakim harus menjadi kurikulum utama di fakultas hukum.
Integritas harus dibentuk sejak dini, bukan hanya diajarkan secara teoretis.
Kelima, perlindungan terhadap pelapor pelanggaran etik (whistleblower) harus diperkuat.
Banyak laporan internal tidak pernah sampai ke permukaan karena takut intimidasi.
Jika tidak ada jaminan keamanan, maka suara-suara kebenaran akan terus dibungkam.
Dari sisi kebijakan ekonomi, negara perlu menjaga independensi pengadilan dari tekanan elite bisnis.
Lobi-lobi yang masuk ke ruang sidang harus dibatasi secara tegas.
Proses hukum harus steril dari campur tangan pemilik modal.
Kita tidak bisa terus mengandalkan pergantian individu untuk menyelesaikan masalah sistemik.
Kasus Ketua PN Jaksel ini harus jadi momentum pembenahan menyeluruh.
Karena sejatinya, bukan hanya satu orang yang gagal. Ini adalah kegagalan sistem pengawasan hukum kita.
Jika masyarakat tidak lagi percaya bahwa pengadilan bisa memberikan keadilan, maka akan muncul jalan alternatif yang berbahaya: ketidaktaatan sipil, kekerasan, bahkan vigilante.
Kita tidak boleh membiarkan keadilan diperjualbelikan.
Saat hakim bisa dibeli, maka negara hukum telah mati dalam senyap.