Jakarta – Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menggelar rapat kerja dengan mengundang sejumlah pakar hukum tata negara guna menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu lokal mulai tahun 2029. Rapat digelar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Jumat (4/7/2025).
Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, menyatakan bahwa putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 telah memicu kontroversi karena dianggap melampaui kewenangan lembaga yudisial, terutama dalam konteks open legal policy yang seharusnya berada di ranah pembentuk undang-undang.
“Adanya anggapan bahwa MK telah mengubah konstitusi UUD 1945 dan menunjukkan inkonsistensi terhadap dua putusan MK sebelumnya menjadi perhatian serius kami,” ujar Habiburokhman dalam rapat tersebut.
Dalam rapat itu, Komisi III mengundang tiga ahli yaitu mantan Hakim MK Patrialis Akbar, Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR Taufik Basari, dan akademisi Universitas Indonesia Valina Singka Subekti. Mereka diminta memberikan pandangan hukum dan kajian akademik terhadap konsekuensi putusan tersebut.
Putusan MK tersebut menyatakan bahwa mulai 2029, pelaksanaan pemilu nasional untuk Presiden, DPR RI, dan DPD RI akan dipisahkan dari pemilu lokal yang mencakup pemilihan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta kepala daerah. Dengan demikian, model pemilu serentak lima kotak yang selama ini digunakan akan digantikan oleh skema dua tahap pemilu.
Habiburokhman menambahkan bahwa putusan ini menimbulkan kebingungan hukum karena bertentangan dengan putusan MK sebelumnya yang menyatakan pemilu serentak sebagai bentuk efisiensi dan efektivitas demokrasi.
“Putusan MK lima kotak itu bersifat final, putusan kemarin juga bersifat final, tapi keduanya saling bertolak belakang. Tidak jelas yang mana sebenarnya yang harus dijadikan pedoman,” tegasnya.
Komisi III menilai perlunya diskusi mendalam mengenai dampak hukum, politik, dan administratif dari pemisahan pemilu tersebut. Mereka juga akan menyampaikan rekomendasi kepada MK dan pemerintah sebagai bagian dari fungsi pengawasan legislatif.
Rapat ini menjadi bagian dari respons parlemen atas dinamika konstitusional yang berkembang, khususnya terhadap kewenangan lembaga yudisial dalam memutus perkara yang menyangkut desain kelembagaan negara.