Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merilis temuan terbaru terkait lemahnya pengawasan sektor kehutanan di Indonesia. Berdasarkan kajian bersama sejumlah mitra, kondisi ini mengakibatkan kerugian negara hingga Rp35 miliar per tahun, serta berpotensi menghilangkan penerimaan negara bukan pajak (PNPB) senilai Rp15,9 triliun setiap tahunnya.
Plt Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan bahwa sektor kehutanan merupakan salah satu sumber daya alam strategis yang menyangkut kepentingan masyarakat luas dan memiliki potensi PNBP tinggi. Namun, lemahnya tata kelola dari hulu hingga hilir membuat sektor ini rawan praktik korupsi.
“Sehingga perlu dilakukan perbaikan tata kelola Sumber Daya Alam, termasuk sektor kehutanan ini, secara menyeluruh, dari hulu hingga hilir,” tegas Asep di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (14/8/2025).
Hasil kajian KPK menunjukkan, lemahnya sistem pengawasan memicu praktik suap, terutama dalam proses perizinan penggunaan lahan hutan. Salah satu contoh nyata terungkap lewat operasi tangkap tangan (OTT) KPK yang melibatkan PT Inhutani V (INH) dan PT Paramitra Mulia Langgeng (PML) di Provinsi Lampung.
KPK menetapkan tiga orang tersangka: Direktur Utama PT INH Dicky Yuana Rady, Direktur PT PML Djunaidi, dan staf perizinan SB Grup Aditya. Ketiganya diduga terlibat dalam suap terkait pengelolaan kawasan hutan. OTT dilakukan pada Rabu (13/8/2025) di empat lokasi berbeda: Jakarta, Bekasi, Depok, dan Bogor, dengan total sembilan orang diamankan.
Berdasarkan konstruksi perkara, PT INH memiliki hak kelola hutan seluas ±56.547 hektare di Lampung, dengan ±55.157 hektare di antaranya dikerjasamakan dengan PT PML. Meski pada 2018 PT PML tersandung masalah hukum terkait kewajiban pajak dan dana reboisasi, Mahkamah Agung memutuskan pada 2023 bahwa perjanjian kerja sama tetap sah. Kerja sama ini berlanjut pada 2024, disertai aliran dana miliaran rupiah, termasuk Rp100 juta untuk kepentingan pribadi Dirut INH.
Pada 2025, suap kembali mengalir. Juli 2025, Dicky meminta satu unit mobil baru kepada Djunaidi, yang dipenuhi dengan pembelian Jeep Rubicon merah senilai Rp2,3 miliar. Agustus 2025, staf perizinan Aditya menyerahkan uang SGD189.000 (sekitar Rp2,4 miliar) untuk Dicky.
KPK menegaskan, selain merugikan negara secara finansial, praktik ini merusak tata kelola sumber daya alam dan mengancam keberlanjutan lingkungan. Penindakan akan dilanjutkan, termasuk penelusuran aliran dana suap pada sektor kehutanan di perusahaan BUMN lainnya.