Nilai tukar rupiah terus melemah. Pada penutupan pekan lalu, rupiah spot ditutup di angka Rp16.502 per dolar AS. Di kurs JISDOR Bank Indonesia, nilainya hanya terpaut satu poin: Rp16.501.
Namun, angka ini bukanlah yang paling mengkhawatirkan.
Analis memprediksi pelemahan bisa berlanjut hingga tembus Rp17.000 hingga Rp18.000 per dolar. Bahkan, angka psikologis Rp20.000 bukan lagi mustahil jika kondisi tak segera dibenahi.
Ancaman ini bukan sekadar spekulasi.
Lukman Leong dari Doo Financial Futures mengatakan, secara fundamental, posisi rupiah saat ini sangat rentan. Terutama karena ekonomi domestik belum pulih dan tekanan eksternal terus meningkat.
Bank Indonesia memang berupaya menahan pelemahan dengan intervensi pasar. Mereka juga mengandalkan cadangan devisa dari aturan baru DHE (Devisa Hasil Ekspor). Tapi intervensi ini sifatnya jangka pendek.
Fundamental ekonomi tak bisa dilapisi kosmetik terus-menerus.
Direktur CELIOS, Bhima Yudhistira, menyebutkan beberapa akar persoalan.
Pertama, lemahnya daya beli masyarakat.
Indikatornya jelas: impor barang konsumsi turun saat Ramadan. Penjualan kendaraan anjlok. Simpanan perorangan turun. PHK di industri padat karya melonjak.
Kedua, faktor non-ekonomi yang memperparah sentimen pasar.
Revisi UU TNI, yang membuka ruang militerisasi sipil, dinilai investor sebagai langkah regresif dalam tata kelola demokrasi dan hukum.
Rupiah pun langsung bereaksi negatif. Pasar tak butuh banyak waktu membaca sinyal buruk dari kebijakan politik.
Ketiga, utang negara yang mendekati Rp9.000 triliun.
Dengan nilai tukar melemah, beban bunga utang dalam dolar kian berat. Ruang fiskal mengecil. Kemampuan negara untuk mendorong pemulihan ekonomi pun semakin terbatas.
Masalahnya, di tengah situasi genting ini, pemerintah seolah tidak melihat urgensinya.
Alih-alih menyusun langkah konkret pemulihan ekonomi, energi justru dihabiskan untuk proyek politis. Seperti pembentukan lembaga baru, revisi UU yang kontroversial, dan proyek tambang yang tidak layak secara keekonomian.
Contohnya: proyek gasifikasi batu bara oleh Danantara, yang justru menakutkan investor karena berisiko tinggi dan tak efisien.
Alih-alih membangkitkan ekonomi, proyek ini justru memberi sinyal buruk ke pasar.
Bhima menegaskan, Indonesia butuh paket kebijakan ekonomi yang kuat.
Bukan hanya insentif konsumsi, tapi juga keberpihakan nyata pada industri padat karya, yang kini sekarat.
Pemerintah juga perlu menunda kebijakan distorsif yang mengacaukan pasar dan kepercayaan publik.
Jika tidak, bukan hanya rupiah yang terjun bebas.
IHSG pun ikut anjlok. Arus modal asing kabur. Investasi mandek. Rakyat kehilangan pekerjaan.
Ancaman ini nyata.
Dan bukan tidak mungkin, jika dibiarkan, krisis 1998 bisa terulang dalam bentuk baru.
Dengan beban utang yang lebih besar. Daya beli yang lebih rendah. Dan korupsi yang lebih terstruktur.
Tapi berbeda dengan 1998, kali ini tidak ada krisis moneter global yang bisa dijadikan kambing hitam.
Ini murni hasil tata kelola ekonomi yang gagal membaca sinyal, gagal bergerak cepat, dan terlalu sibuk bermain kuasa.
Pemerintah harus bergerak. Bukan lewat narasi optimisme palsu. Tapi lewat tindakan konkret dan keberanian menata ulang prioritas.
Indonesia tidak bisa lagi membiarkan ekonomi digerakkan oleh kepentingan elite politik dan oligarki.
Karena ketika rupiah melemah, yang paling terdampak bukan para pejabat.
Tapi rakyat kecil.
Mereka yang membeli beras, solar, dan obat-obatan dengan harga yang terus naik karena kurs tak terkendali.
Dan ketika pemerintah tak lagi bisa menjamin stabilitas ekonomi dasar, maka kontrak sosial antara rakyat dan negara sedang berada di ambang kehancuran.