Jawa Barat kembali membuat gebrakan. Gubernur Dedi Mulyadi menginstruksikan pemberlakuan dua aturan besar sekaligus: jam malam untuk siswa mulai pukul 21.00 hingga 04.00 WIB dan jam masuk sekolah pukul 06.00 pagi. Aturan ini akan mulai efektif pada Juni 2025 dan berlaku di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat, dari tingkat dasar hingga menengah.
Instruksi ini tertuang dalam Surat Edaran Gubernur Jabar Nomor 51/PA.03/Disdik, yang menyasar hingga ke level kecamatan dan desa. Tujuannya? Menciptakan suasana kondusif agar generasi muda bisa tumbuh dalam lingkungan yang tertib, aman, dan lebih terarah. Di atas kertas, niat ini tampak mulia. Namun dalam praktiknya, kebijakan ini mengundang lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Jam malam untuk siswa sejatinya bukan hal baru. Beberapa daerah pernah menerapkannya sebagai respons terhadap kenakalan remaja atau kekhawatiran akan pergaulan bebas. Namun, efektivitasnya masih jadi perdebatan panjang. Kini, Jawa Barat melangkah lebih jauh. Tidak hanya membatasi ruang gerak siswa di malam hari, tapi juga memajukan waktu masuk sekolah menjadi pukul 06.00 pagi—yang berarti siswa harus bangun setidaknya pukul 04.30 atau bahkan lebih awal.
Pertanyaannya: apakah pendekatan ini benar-benar menjawab akar masalah?
Dalam banyak studi kesehatan dan pendidikan, termasuk yang dirilis oleh American Academy of Pediatrics, waktu mulai sekolah yang terlalu pagi terbukti berdampak negatif pada kesehatan fisik dan mental remaja. Remaja membutuhkan waktu tidur 8-10 jam per malam, dan pola tidur mereka cenderung bergeser lebih malam akibat perubahan biologis di masa pubertas. Artinya, bangun terlalu pagi akan mengurangi durasi tidur, meningkatkan risiko stres, penurunan konsentrasi belajar, hingga gangguan kesehatan jangka panjang.
Apalagi, siswa di daerah-daerah penyangga seperti Cianjur, Garut, atau Sukabumi, kerap menghadapi tantangan infrastruktur dan jarak tempuh yang jauh. Jam masuk pukul 06.00 akan semakin membebani mereka. Di sisi lain, pembatasan jam malam juga menimbulkan masalah praktis: bagaimana implementasinya, terutama di kota-kota besar seperti Bandung atau Bekasi? Siapa yang akan mengawasi? Apakah tidak membuka ruang bagi tindakan represif dan potensi pelanggaran hak anak?
Secara sosial, aturan ini juga patut dikritisi karena berpotensi menambah tekanan pada keluarga, khususnya ibu-ibu pekerja yang harus menyiapkan anak lebih pagi dari biasanya. Apakah ada kebijakan pendukung seperti transportasi aman dini hari atau fasilitas sarapan sehat di sekolah? Tanpa ekosistem pendukung, kebijakan ini bisa menjadi beban tambahan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah.
Di sisi politik, keputusan ini menunjukkan kecenderungan sentralisasi pengambilan kebijakan di tingkat provinsi yang langsung menyasar level paling bawah, yakni desa. Koordinasi lintas sektor tentu menjadi tantangan besar. Pemerintah kabupaten dan kota kini dibebani tugas koordinasi dan pengawasan di lapangan, sementara kesiapan infrastruktur dan SDM di banyak daerah masih minim.
Dari sisi hukum, belum jelas apakah kebijakan ini berbentuk aturan yang mengikat secara hukum atau hanya imbauan administratif. Jika hanya berbentuk surat edaran, maka daya paksa hukumnya lemah dan pelaksanaan di lapangan bisa tidak seragam. Ini menimbulkan ambiguitas, bahkan bisa dimanfaatkan oleh oknum yang ingin menegakkan aturan secara sepihak.
Kita juga perlu melihat kebijakan ini dari sisi ekonomi. Memulai sekolah lebih awal berarti biaya tambahan untuk listrik, transportasi, dan konsumsi. Sekolah harus membuka gerbang lebih pagi, guru harus hadir lebih awal, dan siswa harus mengatur ulang ritme harian mereka. Jika pemerintah daerah tidak menyediakan insentif atau dukungan logistik, beban akan jatuh ke keluarga dan tenaga pendidik.
Tidak bisa disangkal, ada kegelisahan yang melatarbelakangi munculnya kebijakan ini—kegelisahan tentang merosotnya kedisiplinan, meningkatnya kenakalan remaja, dan menurunnya kualitas belajar. Tetapi menjawab masalah kompleks dengan pendekatan disiplin tunggal bisa jadi kontraproduktif. Ini adalah contoh klasik dari kebijakan satu dimensi yang mengabaikan keberagaman konteks sosial, geografis, dan psikologis masyarakat.
Sebaliknya, solusi yang lebih menyentuh akar persoalan justru dimulai dari investasi pada pendidikan karakter, pemulihan kualitas pengajaran, dan peningkatan keterlibatan orang tua serta komunitas sekolah. Jam malam dan jam sekolah bukanlah instrumen utama dalam membentuk generasi unggul. Mereka hanyalah pelengkap dari sistem yang lebih luas—sistem yang mestinya menempatkan kebutuhan dan kesejahteraan anak sebagai prioritas utama.
Alih-alih memaksa anak-anak bangun dini hari, mengapa tidak memperkuat program literasi digital, pelatihan guru, dan konseling psikologis di sekolah? Mengapa tidak mengembangkan ruang-ruang aman bagi remaja di luar jam sekolah seperti taman edukatif, perpustakaan komunitas, atau pusat kreativitas pemuda yang aktif malam hari?
Kebijakan pendidikan semestinya dirancang melalui dialog antara pemerintah, tenaga pendidik, pakar kesehatan, orang tua, dan tentu saja para siswa itu sendiri. Tanpa melibatkan suara mereka yang terdampak langsung, kebijakan akan kehilangan legitimasi moral dan efektivitas jangka panjangnya.
Pendidikan bukan sekadar soal waktu dan aturan. Pendidikan adalah proses membangun manusia seutuhnya—yang butuh ruang, waktu, dan dukungan emosional. Jika terlalu banyak menekan, sistem justru akan mematahkan semangat belajar yang sedang tumbuh.