Jakarta – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan waktu pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu lokal dinilai berpotensi memunculkan masalah konstitusional. Komite Pemilih (Tepi) Indonesia mengingatkan bahwa keputusan ini seharusnya dimaknai sebagai momentum reformasi pemilu, bukan untuk memperpanjang masa jabatan secara permanen.
Koordinator Tepi Indonesia, Jeirry Sumampow, menjelaskan bahwa hasil Pemilu 2024 yang melantik anggota DPRD untuk masa jabatan lima tahun sebagaimana amanat Pasal 18 ayat (3) UUD 1945, kini berisiko diperpanjang menjadi tujuh tahun lebih. Hal ini dikarenakan pemilu lokal yang baru akan digelar paling cepat dua tahun setelah pemilu nasional 2029, sesuai ketentuan MK.
“Saya kira, penting bagi publik dan para pembuat kebijakan untuk memahami putusan MK dimaksudkan sebagai bagian dari reformasi sistemik pemilu, bukan sekadar penyesuaian teknis,” kata Jeirry, Ahad (29/6/2025).
Menurutnya, jika perpanjangan jabatan DPRD tidak diatur secara eksplisit dalam undang-undang sebagai transisi satu kali (one time exception), maka dapat menjadi preseden buruk bagi demokrasi di masa depan. Ia mengingatkan, reformasi harus tetap dalam koridor konstitusi.
Sebagai alternatif lain, Jeirry juga mengusulkan dua skenario tambahan: pertama, amandemen terbatas terhadap UUD 1945; kedua, pemberian tafsir lanjutan oleh MK untuk menyatakan masa jabatan bisa disesuaikan hanya untuk transisi sistemik.
“Setiap perubahan harus dilandasi undang-undang yang jelas, melibatkan partisipasi publik luas dan menghindari kesan dimanfaatkan untuk kepentingan politik jangka pendek,” tegasnya.
Anggota KPU RI, Idham Holik, sebelumnya juga mengakui bahwa masa jabatan DPRD hasil Pemilu 2024 bisa diperpanjang karena pemilu lokal baru akan menghasilkan anggota baru pada 2031. Ia menegaskan bahwa hal ini harus menunggu revisi UU Pemilu dan Pilkada.
Sementara itu, pakar hukum tata negara dari UIN Sunan Kalijaga, Gugun El Guyanie, menilai harus ada rekayasa konstitusional. Ia menjelaskan bahwa DPRD tidak bisa dikosongkan karena perannya dalam pembentukan peraturan daerah dan pengawasan APBD sangat vital.
“Secara administratif DPRD dilantik 2024, SK-nya sampai 2029. Setelah itu harus ada SK transisi 2029–2031,” ujar Gugun.
Diskusi mengenai reformasi sistem pemilu dan masa transisi ini masih terus berkembang di kalangan pengamat dan pembuat kebijakan. Semua pihak menekankan perlunya langkah hukum yang jelas agar demokrasi tetap berlandaskan konstitusi dan tidak menimbulkan ketidakpercayaan publik.