Di tengah ketegangan Timur Tengah, dunia dikejutkan oleh peran ‘pahlawan’ ala Donald Trump. Pada 22 Juni 2025, AS melancarkan serangan udara ke tiga lokasi nuklir Iran—Fordow, Natanz, dan Isfahan—dengan dalih mencegah proliferasi nuklir. Namun ketika Iran membalas dengan serangan terbatas ke Pangkalan Al Udeid, Qatar, Trump langsung mengumumkan “akhir resmi perang” seolah ia menyelamatkan dunia. Ini bukan kepemimpinan, ini panggung drama.
Trump memulai dengan perintah serangan militer berisiko tinggi tanpa strategi jangka panjang. Operasi ini menggunakan bom bunker-buster dan rudal presisi untuk melumpuhkan fasilitas nuklir. Dampak fisiknya besar, tapi dampak politiknya jauh lebih luas—ini pengingat bahwa dunia bisa saja diseret ke konflik global terbuka hanya karena ambisi satu orang.
Iran, yang selama bertahun-tahun ditekan sanksi, merespons dengan cara yang terukur. Mereka menembakkan 19 rudal ke pangkalan AS di Qatar, tanpa korban jiwa, dengan lokasi yang dipilih jauh dari permukiman warga. Bahkan, Iran sempat memberi peringatan sebelum serangan dan menyatakan bahwa ini adalah balasan simbolik yang sebanding dengan jumlah bom yang mereka terima.
Tindakan Iran tetap tergolong agresi militer, tapi memperlihatkan kalkulasi dan kendali. Mereka tidak ingin perang besar. Tapi Trump menyebutnya “serangan lemah” dan memuji sistem pertahanan AS yang mencegat 13 dari 14 rudal, bahkan mengklaim bahwa satu rudal “dibiarkan lolos” karena tidak membahayakan. Ini bukan analisis jujur, melainkan upaya menjaga citra kekuatan dan mengalihkan sorotan dari kegagalan diplomatiknya.
Qatar menjadi ironi dalam konflik ini. Wilayahnya dilanggar, pangkalannya diserang, tapi justru Qatar yang menjadi penengah utama. Mereka mengutuk keras serangan Iran sebagai pelanggaran hukum internasional, namun tetap berperan dalam membujuk Iran menyetujui gencatan senjata. Qatar, negara kecil dengan reputasi netral, menunjukkan rasionalitas lebih besar dibanding kekuatan besar yang haus panggung.
Trump mengklaim kesepakatan itu sebagai “akhir resmi perang”, seolah ia baru saja menggagalkan perang nuklir. Tapi dunia tahu, dialah yang menyulut eskalasi ini sejak awal. Gaya kepemimpinan Trump tak berubah: membuat kekacauan lalu muncul sebagai ‘penyelamat’. Ini bukan strategi baru, tapi pengulangan narasi lama.
Kita pernah menyaksikan model seperti ini dalam Perang Irak. Klaim senjata pemusnah massal dijadikan dalih untuk menyerbu negara berdaulat—yang belakangan terbukti tak berdasar. Kini, Trump mengulang skenario itu dalam versi baru: Iran sebagai musuh, nuklir sebagai ancaman, dan AS sebagai penentu arah dunia. Padahal risiko lebih besar, karena aktor yang dilibatkan jauh lebih siap.
Pernyataan Trump tentang gencatan senjata datang terlalu terlambat. Jika benar niatnya mencegah Iran membangun senjata nuklir, maka jalur diplomasi dan pengawasan internasional seharusnya ditempuh lebih dulu. Badan Energi Atom Internasional (IAEA) tak pernah menyajikan bukti kuat bahwa Iran sedang aktif membangun senjata nuklir secara rahasia.
Iran selama bertahun-tahun berkomitmen pada kesepakatan nuklir JCPOA, yang justru ditinggalkan secara sepihak oleh AS pada 2018. Respon Iran yang tanpa korban sipil dan disertai peringatan sebelumnya membuktikan bahwa mereka masih siap berdiplomasi—asal tidak ditekan dengan ledakan.
Konflik ini memang mereda, tapi belum usai. Ketegangan masih tinggi. Dunia belum tahu bagaimana reaksi Israel atau apakah kelompok proksi akan mengambil alih panggung. Namun satu hal pasti: dunia makin lelah dengan pemimpin yang menciptakan konflik hanya untuk kemudian tampil sebagai penyelamat.
Trump mungkin berhasil mengendalikan narasi di media AS. Tapi di mata masyarakat global, ia hanya aktor yang datang terlambat ke panggung yang ia ciptakan sendiri. Retorikanya tentang “akhir resmi perang” hanyalah tutup satu bab, bukan solusi bagi kisah yang dia buat kusut sejak awal.
Daripada berpose heroik, Trump seharusnya bertanya: berapa besar biaya politik, ekonomi, dan moral yang ditanggung rakyat dunia akibat manuvernya? Bisakah kemenangan disebut demikian jika yang tertinggal hanyalah rasa takut, luka diplomasi, dan kecurigaan terhadap Amerika Serikat sebagai pemimpin dunia?
Solusi yang dibutuhkan dunia jauh dari retorika. Dunia membutuhkan pemimpin yang tidak cepat panik, berani menahan diri, dan memahami bahwa kekuatan sejati diukur dari kemampuan menciptakan stabilitas, bukan memamerkan senjata. Diplomasi multilateral harus kembali jadi pilihan utama.
Lembaga global seperti PBB dan IAEA perlu diperkuat, bukan disabotase oleh retorika nasionalisme. Negara-negara regional seperti Qatar bisa dijadikan mitra utama, karena terbukti lebih mampu mendorong stabilitas melalui dialog.
Kepemimpinan sejati adalah yang mampu membaca masa depan, bukan sekadar menguasai narasi sesaat. Dunia tidak butuh lebih banyak pemantik api yang datang kesiangan. Dunia membutuhkan pemadam yang hadir sebelum bara menjadi nyala.