Gagasan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) yang awalnya dibungkus dengan narasi modernisasi, transformasi, dan kebanggaan nasional, kini justru menjadi bahan olok-olok di ruang publik.
Slogan sarkastis “yang mau lanjutkan bangun IKN, silakan patungan” bukan sekadar guyonan biasa. Itu adalah ekspresi frustrasi yang mencerminkan betapa renggangnya jarak antara kebijakan ambisius pemerintah dan realitas kehidupan sehari-hari rakyat.
Ketika rakyat diminta berhemat, menghadapi harga kebutuhan pokok yang melambung, dan berjuang dengan akses layanan publik yang minim, pemerintah justru sibuk mengurus megaproyek yang nilainya mencapai ratusan triliun rupiah.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan sederhana namun fundamental: siapa sebenarnya yang diuntungkan dari proyek ini?
Jika manfaatnya begitu jelas dan besar, mengapa antusiasme masyarakat justru lebih banyak diwujudkan dalam bentuk sindiran ketimbang dukungan nyata?
Fenomena ini memperlihatkan kegagalan pemerintah dalam membaca suasana kebatinan publik. Warga tidak sekadar menolak karena tidak suka dengan perubahan, tetapi karena mereka melihat ketimpangan antara kebutuhan dasar yang belum terpenuhi dan obsesi pemerintah terhadap pembangunan fisik yang megah.
Publik lelah dengan janji-janji manis yang tidak menyentuh kebutuhan riil mereka. Di tengah inflasi yang menekan daya beli, sulit untuk mengharapkan rakyat bersimpati pada proyek yang terasa jauh dari urgensi hidup mereka.
Apalagi, narasi yang dibangun pemerintah tentang IKN sering kali terdengar klise: “akan menjadi pusat ekonomi baru,” “mendorong pemerataan pembangunan,” atau “menciptakan lapangan kerja.”
Klaim-klaim ini tanpa disertai bukti konkret di lapangan hanya akan menjadi jargon kosong.
Masyarakat sudah cukup kenyang dengan pengalaman masa lalu di mana proyek-proyek besar justru menjadi lahan subur untuk korupsi, pemborosan anggaran, dan ketidaktransparanan.
Kritik yang muncul di media sosial menunjukkan bahwa masyarakat bukan sekadar apatis, melainkan semakin kritis.
Mereka mempertanyakan transparansi anggaran, akuntabilitas pemerintah, serta urgensi proyek ini di tengah kondisi ekonomi yang tidak stabil.
Warganet dengan sarkas mengatakan, jika IKN memang bermanfaat dan menguntungkan, para politisi, pengusaha besar, dan pendukung setia proyek ini seharusnya rela urunan.
Ironi ini menyentil logika para pengambil kebijakan yang selalu mengklaim proyek ini untuk kepentingan rakyat, namun biaya dan risikonya sepenuhnya dibebankan kepada publik.
Ketidakpercayaan ini diperparah oleh berbagai kasus korupsi yang melibatkan proyek infrastruktur di masa lalu.
Rakyat belajar bahwa anggaran besar selalu membawa risiko besar: dari mark-up, pengadaan fiktif, hingga permainan kotor di balik lelang proyek.
Sikap skeptis ini semakin sulit dihapus tanpa komitmen transparansi yang nyata dari pemerintah.
Di sisi lain, pemerintah tampak terjebak dalam logika pembangunan yang usang—mengukur kemajuan dari seberapa besar gedung yang dibangun, seberapa panjang jalan yang diaspal, dan seberapa banyak proyek infrastruktur yang diresmikan.
Padahal, esensi pembangunan seharusnya lebih dari sekadar fisik.
Pembangunan yang bermakna adalah yang mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat, memperluas akses terhadap layanan publik, dan menciptakan rasa keadilan sosial.
Sindiran soal “patungan untuk IKN” adalah refleksi dari rasa ketidakadilan itu.
Di satu sisi, rakyat disuruh maklum atas kenaikan harga bahan bakar, tarif listrik, atau kebijakan ekonomi yang membebani.
Di sisi lain, mereka melihat anggaran negara dihamburkan untuk proyek yang manfaatnya masih abu-abu.
Ini bukan hanya tentang angka dalam APBN, melainkan tentang prioritas: mana yang benar-benar mendesak untuk diperjuangkan.
Jika pemerintah percaya diri bahwa proyek ini akan menguntungkan, mengapa tidak membuka opsi investasi publik secara sukarela?
Bukan dalam bentuk pajak atau pungutan wajib, tetapi benar-benar sukarela—lihat seberapa banyak orang yang rela mengeluarkan uang pribadi mereka untuk mendukung IKN.
Jika ternyata responnya minim, itu adalah sinyal bahwa proyek ini tidak memiliki dukungan sosial yang cukup kuat.
Pada akhirnya, proyek IKN bukan hanya soal membangun gedung-gedung baru di tanah kosong.
Ia adalah cermin dari bagaimana pemerintah memandang pembangunan: apakah sebagai alat untuk memuliakan rakyat, atau sekadar monumen ambisi politik.
Jika pemerintah tetap bersikeras melanjutkan tanpa evaluasi kritis, maka IKN akan menjadi simbol ketidakpekaan rezim terhadap jeritan warganya sendiri.
Jadi, yang mau lanjutkan bangun IKN, silakan patungan.
Rakyat sudah cukup lelah menjadi penonton sekaligus korban dari mimpi-mimpi besar yang tak pernah berpijak di tanah tempat mereka berdiri.