Jakarta – Perbedaan pandangan muncul di antara para pejabat terkait rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada 2025. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa hingga kini belum ada pembahasan terkait penundaan kenaikan tersebut di pemerintahan.
“Belum, belum, belum dibahas,” ujar Airlangga di Istana Negara, Kamis (28/11/2023).
Ia menegaskan bahwa kenaikan PPN sesuai dengan Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Airlangga juga menjelaskan bahwa sejumlah barang akan tetap dikecualikan dari pungutan PPN, termasuk bahan pokok, bahan penting, dan layanan pendidikan.
Di sisi lain, Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan justru memberikan sinyal bahwa kenaikan PPN kemungkinan besar akan ditunda.
“Ya, hampir pasti diundur,” kata Luhut, Rabu (27/11/2023).
Luhut menyebut pemerintah berencana memberikan stimulus berupa bantuan sosial (bansos) terlebih dahulu sebelum memberlakukan kenaikan PPN.
“PPN 12% sebelum itu jadi, harus diberikan dulu stimulus kepada rakyat yang ekonominya susah,” ujarnya.
Stimulus tersebut rencananya akan berupa subsidi energi ketenagalistrikan, bukan Bantuan Langsung Tunai (BLT), untuk menghindari potensi penyalahgunaan dana.
Meski demikian, waktu pasti penerapan PPN 12% pada 2025 akan diputuskan dalam rapat pemerintah mendatang.
“Kita enggak tahu, nanti rapat masih ada berapa lama lagi kan,” ujar Luhut.
Saat ini, pemerintah memastikan sejumlah barang dan jasa tetap bebas dari tarif PPN meskipun kenaikan berlaku. Barang bebas PPN meliputi bahan pokok seperti beras, jagung, sagu, kedelai, dan garam konsumsi. Layanan seperti jasa keagamaan, kesenian, perhotelan, penyediaan tempat parkir, dan katering juga tidak dikenakan PPN.
Perbedaan pandangan ini menunjukkan adanya dinamika dalam pengambilan kebijakan fiskal yang akan berdampak besar pada masyarakat luas. Pemerintah masih harus menyusun strategi agar kebijakan ini berjalan tanpa membebani rakyat, khususnya kelas menengah ke bawah.
