Prabowo Subianto memiliki peluang besar untuk menegaskan posisinya sebagai pemimpin yang mandiri dan pro-rakyat. Salah satu langkah paling strategis adalah mengembalikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ke 10%.
Namun, jika pemerintahannya tetap melanjutkan rencana menaikkan PPN ke 12%, Prabowo berisiko hanya menjadi bayang-bayang Jokowi, melanjutkan kebijakan yang semakin menekan masyarakat.
Kenaikan PPN ke 12% sejatinya direncanakan untuk mendukung penerimaan negara hingga Rp75 triliun. Pemerintah sebelumnya berargumen bahwa kenaikan ini diperlukan untuk menopang anggaran pembangunan.
Namun, beban tersebut akhirnya jatuh pada rakyat. Beban itu terutama kelas menengah-bawah yang sudah menghadapi tingginya inflasi dan kenaikan harga kebutuhan pokok.
Langkah menaikkan PPN adalah kebijakan yang menyulitkan bagi masyarakat. Sementara itu, suara rakyat semakin keras. Lebih dari 15.000 orang telah menandatangani petisi menolak kenaikan PPN. Mereka menuntut kebijakan yang lebih berpihak pada rakyat kecil, bukan sekadar mengejar penerimaan fiskal. Apakah Prabowo akan mendengarkan suara ini?
Jika Prabowo benar-benar berkomitmen untuk membawa perbaikan, ia tidak hanya harus membatalkan kenaikan PPN ke 12%, tetapi juga berani mengembalikan tarifnya ke 10%. Langkah ini akan menjadi simbol keberanian politik, membedakannya dari pemerintahan sebelumnya yang dianggap lebih fokus pada kebijakan pro-elit.
Mengembalikan PPN ke 10% juga dapat meningkatkan daya beli masyarakat. Itulah menciptakan stimulasi ekonomi yang lebih luas, dan mengurangi beban rumah tangga.
Namun, tantangan besar ada pada bagaimana Prabowo akan menutup kekurangan pendapatan negara. Solusinya bukan sekadar menurunkan tarif, tetapi juga memperbaiki tata kelola perpajakan.
Solusinya, pemerintah dapat memperluas basis pajak, memungut pajak dari sektor-sektor yang selama ini kurang tersentuh, atau mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam. Strategi ini tidak hanya mengurangi ketergantungan pada PPN tetapi juga menciptakan sistem yang lebih adil.
Dari sisi politik, ini adalah kesempatan emas bagi Prabowo untuk keluar dari bayang-bayang Jokowi. Selama Pilpres 2024, banyak yang mengkritik pasangan Prabowo dan Gibran Rakabuming Raka sebagai penerus kebijakan lama yang dianggap tidak memberikan solusi nyata bagi masyarakat.
Hasil Pilpres memang menunjukkan kemenangan Prabowo-Gibran dengan 58,59% suara, tetapi ini tidak otomatis berarti dukungan penuh. Ketidakpuasan terlihat jelas di Jakarta, di mana pasangan yang dibayang-bayani Prabowo dan Jokowi kalah dari Pramono, yang didukung Anies Baswedan.
Mengembalikan tarif PPN ke 10% tidak hanya akan memulihkan kepercayaan publik tetapi juga mempertegas identitas politik Prabowo.
Sebaliknya, jika kebijakan menaikkan PPN ke 12% tetap dilanjutkan, narasi bahwa Prabowo hanyalah penerus kebijakan Jokowi akan semakin menguat. Keputusan ini juga akan memperlebar jurang antara pemerintah dan rakyat, memperkuat skeptisisme yang sudah muncul sejak pencalonan Gibran sebagai wakil presiden.
Langkah berani untuk menurunkan PPN ke 10% akan menegaskan bahwa Prabowo adalah pemimpin yang benar-benar mendengarkan aspirasi rakyat. Ini bukan sekadar soal ekonomi, tetapi juga soal legitimasi politik dan komitmen moral untuk memperbaiki nasib masyarakat.
Nah, jika gagal mengambil langkah ini, Prabowo mungkin akan dikenang sebagai sosok yang melewatkan peluang besar untuk menjadi pemimpin sejati—dan hanya menjadi bayang-bayang dari pemerintahan sebelumnya.
