Jakarta – Polemik pengalihan pengelolaan empat pulau dari Aceh ke Sumatera Utara (Sumut) oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mendapat perhatian serius dari DPR RI. Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Dede Yusuf Macan Effendi, menilai langkah tersebut seharusnya tidak dilakukan sepihak, mengingat empat pulau tersebut memiliki nilai historis dan sosial yang lebih lekat dengan Aceh.
Empat pulau yang dialihkan berdasarkan SK Mendagri No. 300.2.2-2138 Tahun 2025 adalah Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek. Menurut Dede Yusuf, meskipun secara geospasial keempat pulau lebih dekat ke Sumut, tetapi secara historis dan kultural, Aceh memiliki ikatan lebih kuat dengan kawasan tersebut.
“Kalau dari sudut pandang saya, memang historisnya ini lebih banyak ke Aceh, karena sejak zaman pergerakan dulu sudah dibuat batas-batas wilayah dan dilakukan berbagai kegiatan masyarakat di sana,” kata Dede dalam wawancara pada Kamis (12/6/2025).
Ia menyarankan agar pemerintah pusat, khususnya Kemendagri, melakukan mediasi ulang antara pemerintah Aceh dan Sumut, termasuk menawarkan skema pengelolaan bersama sebagai solusi kompromi. Dede juga mengingatkan pentingnya melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dalam proses mediasi tersebut.
“Harus melibatkan tokoh-tokoh masyarakat. Dari situ bisa terlihat nilai-nilai historis dan perjuangan rakyat Aceh yang tidak selalu tertulis dalam dokumen administratif,” jelasnya.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Syiah Kuala, Dr. Nasrul Zaman, turut menyampaikan kekhawatiran bahwa keputusan ini berpotensi menimbulkan ketegangan di Aceh yang selama ini berupaya menjaga perdamaian pasca-konflik. Ia menyebutkan bahwa pengabaian terhadap konteks sejarah bisa membuka luka lama dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pusat.
“Sejarah panjang republik ini dengan Aceh dan dicaploknya empat pulau itu menjadi benih perpecahan dan perlawanan pasca damai di Aceh,” ujar Nasrul, Rabu (11/6/2025).
Dede Yusuf menambahkan, persoalan batas wilayah merupakan masalah klasik yang belum tuntas di banyak daerah di Indonesia. Ia menyebutkan kejadian serupa terjadi di Sumatera Barat, tepatnya di Tanah Datar, yang mengindikasikan perlunya revisi dan kajian menyeluruh terhadap batas-batas wilayah di seluruh provinsi.
Dengan meningkatnya respons publik dan tokoh nasional, desakan untuk mengkaji ulang SK Kemendagri semakin menguat. Pemerintah pusat diminta bertindak hati-hati dan mempertimbangkan semua aspek, tidak hanya geospasial, tetapi juga sejarah, sosial, dan aspirasi masyarakat setempat.
