Ada yang tidak beres dalam putusan hukum atas kasus Tom Lembong. Publik menyaksikan bagaimana mantan Menteri Perdagangan itu divonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp750 juta atas dugaan korupsi impor gula tahun 2015–2016. Tapi tidak ada satu pun pejabat lain—yang secara hierarki justru lebih tinggi, atau yang ikut merumuskan, menyetujui, dan melaksanakan kebijakan tersebut—yang tersentuh oleh hukum. Ini bukan sekadar kejanggalan teknis. Ini cacat logika keadilan.
Dalam sistem pemerintahan, seorang menteri bukan aktor tunggal. Kebijakan strategis seperti impor gula tidak dibuat secara pribadi, sembarangan, atau diam-diam. Itu keputusan yang melibatkan lintas kementerian, dirumuskan oleh tim teknis, disetujui oleh presiden, dan dijalankan oleh lembaga-lembaga pelaksana di bawahnya. Jika hari ini Tom Lembong dinyatakan bersalah karena menginisiasi impor yang merugikan negara, maka semua yang terlibat harus dimintai pertanggungjawaban.
Fakta-fakta persidangan menunjukkan bahwa kebijakan impor tersebut telah melalui mekanisme resmi: usulan dari Dirjen Perdagangan Luar Negeri, rapat koordinasi lintas kementerian, dan persetujuan akhir dari Presiden Joko Widodo. Bahkan, data yang digunakan untuk menentukan volume impor pun berasal dari laporan BPS dan Kementerian Pertanian. Lalu bagaimana mungkin hanya Tom Lembong yang dianggap bersalah?
Logika hukum menjadi rapuh ketika dipaksakan berdiri di atas satu kepala. Jika Tom Lembong dianggap bersalah karena menyetujui impor yang merugikan negara, maka Presiden Jokowi sebagai atasan langsung yang mengesahkan kebijakan, serta kementerian lain yang ikut menandatangani dokumen koordinasi, juga memiliki tanggung jawab hukum. Begitu pula pejabat pelaksana di bawahnya. Kejahatan kebijakan tidak pernah lahir dari satu tangan.
Sikap lembaga peradilan yang hanya menghukum seorang menteri, tanpa menyentuh konteks dan pelaku lain, justru memperjelas adanya ketimpangan dalam praktik penegakan hukum. Hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Hanya berani menyentuh mereka yang tidak lagi punya kekuasaan politik aktif, tapi membiarkan pengambil keputusan tertinggi melenggang tanpa pertanyaan.
Jika ini terus dibiarkan, maka sistem hukum kita sedang diarahkan menjadi alat penyisihan politik dan perlindungan elite. Bukan sebagai institusi penegak keadilan. Bahayanya besar: ketidakpercayaan publik terhadap proses hukum bisa semakin kronis. Rakyat akan menganggap hukum bukan sebagai jalan menuju kebenaran, tapi alat kekuasaan yang digunakan untuk memukul lawan dan melindungi kawan.
Di sisi lain, penting untuk disorot bahwa keputusan impor gula yang menjadi pangkal perkara ini tidak pernah dipermasalahkan saat kebijakan itu berlangsung. Bahkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan KPK saat itu tidak menyebut adanya pelanggaran. Baru setelah dinamika politik nasional berubah dan sosok-sosok reformis seperti Tom Lembong keluar dari lingkaran kekuasaan, kasus ini diangkat dan diproses.
Artinya, ini bukan hanya soal pelanggaran hukum. Ini tentang siapa yang mengendalikan hukum. Dan itu lebih berbahaya daripada korupsi itu sendiri. Karena ketika hukum dijalankan berdasarkan loyalitas, bukan objektivitas, maka kerusakan yang ditimbulkan jauh lebih dalam: kehancuran kepercayaan terhadap keadilan itu sendiri.
Anies Baswedan menyatakan bahwa “siapa pun yang mengikuti persidangan ini dengan akal sehat pasti kecewa”. Pernyataan ini mengandung pesan penting. Rakyat bisa melihat, memahami, dan menilai ketika hukum mulai menyimpang. Dalam dunia yang terbuka seperti saat ini, konstruksi hukum yang dibuat-buat mudah dibongkar oleh nalar publik. Upaya menutup-nutupi peran pengambil keputusan hanya memperkuat kesan bahwa hukum dipakai secara selektif.
Jika pengadilan benar-benar objektif dan menjunjung asas equality before the law, maka seharusnya persidangan kasus ini tidak berhenti pada Tom Lembong. Presiden Joko Widodo harus dimintai keterangan. Menteri Koordinator bidang Perekonomian saat itu juga harus dimintai pertanggungjawaban. Begitu juga kementerian terkait seperti Kementerian Pertanian, Kemenko Maritim dan Investasi, serta lembaga teknis seperti Bulog dan BPS yang turut menyuplai data dan eksekusi.
Hal ini bukan untuk menyasar tokoh-tokoh tertentu, tetapi untuk memastikan bahwa prinsip pertanggungjawaban kolektif dalam pembuatan kebijakan benar-benar ditegakkan. Karena jika tidak, maka ini akan menjadi preseden yang sangat buruk. Bayangkan, semua keputusan negara ke depan bisa dijadikan alat kriminalisasi ketika rezim berganti atau saat ada motif politik tersembunyi.
Dampaknya akan sangat terasa dalam iklim birokrasi. Para pejabat publik akan cenderung mengambil sikap pasif, menghindari keputusan strategis, dan lebih memilih “main aman” daripada menjalankan inovasi. Ini akan membuat pemerintahan stagnan, lamban, dan tidak responsif terhadap krisis atau kebutuhan masyarakat.
Dari sudut pandang konstitusi, hal ini juga menabrak prinsip check and balance. Kekuasaan eksekutif tidak boleh kebal hukum. Presiden dan jajaran pembantunya bukanlah institusi yang berdiri di atas hukum, melainkan subjek hukum yang tunduk pada konstitusi. Maka jika ada kebijakan yang ternyata merugikan negara dan ditetapkan sebagai tindak pidana, seluruh proses pengambilan keputusan tersebut harus diusut secara utuh.
Rekomendasi kami jelas. Pertama, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus berani membuka kembali semua dokumen kebijakan impor gula tahun 2015–2016 secara transparan. Jangan berhenti pada satu orang, telusuri alur lengkap pengambilan keputusan hingga ke puncak eksekutif. Kedua, Mahkamah Agung perlu meninjau ulang putusan ini dalam proses kasasi agar tidak menjadi preseden buruk.
Ketiga, DPR melalui komisi terkait harus menggunakan fungsi pengawasannya untuk mendorong pengusutan lebih luas. Jika memang ada kerugian negara, maka pertanggungjawaban tidak boleh dibatasi hanya pada pejabat pelaksana. Jika tidak ada, maka vonis terhadap Tom Lembong harus dibatalkan demi keadilan substantif.
Dan yang terakhir, masyarakat sipil harus bersuara lebih keras. Jangan biarkan hukum dijalankan dengan cara yang membahayakan keadilan dan logika publik. Kita tidak boleh membiarkan satu individu dipenjara atas keputusan yang tidak dibuatnya sendiri.
Karena dalam sistem pemerintahan demokratis, kesalahan kebijakan adalah tanggung jawab bersama. Dan jika hanya satu orang yang dihukum, maka yang sebenarnya rusak bukan hanya keadilan, tapi juga hati nurani bangsa.