Gelombang demonstrasi besar-besaran yang terjadi baru-baru ini memperlihatkan betapa rapuhnya ruang publik ketika kebijakan negara memicu ketidakpuasan. Rakyat turun ke jalan karena merasa tertekan oleh kebijakan yang dianggap membingungkan dan merugikan. Namun, di balik keresahan itu, muncul jejak provokasi yang berusaha menggeser aspirasi menjadi kekacauan.
Daftar kebijakan kontroversial dalam beberapa bulan terakhir memang panjang. Mulai dari isu PPN, premium oplosan, gas LPG, hingga persoalan tanah dan laut yang tidak tuntas. Kebijakan yang tampak “ngawur” ini menambah frustrasi masyarakat dan menciptakan ruang bagi kemarahan kolektif.
Tetapi yang lebih mengkhawatirkan adalah pola pergerakan aksi. Seruan demonstrasi sering kali datang dari akun-akun anonim yang sulit dipertanggungjawabkan. Narasi tunggal untuk memperjelas tuntutan tidak muncul, sehingga aksi cenderung diarahkan oleh provokasi yang menunggu momentum.
Ketika tidak ada kepemimpinan aksi yang jelas, ruang terbuka bagi penyusup. Intel menyamar, provokator mendorong bentrokan, bahkan insiden tragis dimanfaatkan untuk membangun stigma bahwa negara sedang gagal. Demonstrasi kehilangan makna substantif dan berubah menjadi panggung rekayasa politik.
Fenomena ini tidak bisa dilihat sekadar sebagai luapan spontan akibat kebijakan. Ada pola yang sengaja dibangun, dari daerah hingga nasional. Contohnya terlihat di Pati, di mana pengurangan dana daerah memaksa pejabat menaikkan pajak pendapatan, lalu meledak menjadi kemarahan massal.
Namun, ketika keresahan lokal tiba-tiba terkonsolidasi menjadi aksi nasional, wajar bila publik bertanya: siapa yang mengatur? Ada pihak yang sengaja menyulut agar kemarahan tersebar, bukan hanya sekadar respons spontan rakyat. Isu yang seharusnya bersifat regional dipelintir menjadi serangan politik.
Secara politik, ini mencerminkan kerasnya perebutan panggung kekuasaan. Rumor soal jatah kekuasaan dua tahun bagi Presiden Prabowo, lalu digantikan aktor lain, menambah bumbu liar. Narasi seperti ini bukan memperkuat kritik kebijakan, tetapi justru memelihara teori konspirasi.
Jika dibiarkan, masyarakat sibuk mengonsumsi isu politik yang belum tentu benar. Mereka terjebak pada drama kekuasaan, bukan pada tuntutan perbaikan kebijakan nyata. Di titik ini, oposisi sah berubah menjadi sabotase yang melemahkan negara.
Dari sisi hukum, lemahnya pengawasan terhadap penyebaran hoaks dan seruan provokatif memperburuk keadaan. Ajakan aksi anonim tanpa tanggung jawab seharusnya segera diidentifikasi dan dipertanggungjawabkan. Jika tidak, demonstrasi akan terus jadi panggung gelap bagi kepentingan tersembunyi.
Aparat memang dihadapkan pada dilema besar. Mereka wajib menjaga kebebasan berekspresi, tetapi juga harus mencegah kekacauan. Tugas ini tidak mudah, apalagi ketika provokator sengaja mengarahkan massa untuk berkonflik dengan polisi demi melahirkan korban.
Secara sosial, demonstrasi tanpa arah yang jelas lebih banyak merugikan rakyat sendiri. Mereka yang berharap menyampaikan aspirasi justru terseret dalam kekerasan. Fasilitas umum rusak, stigma negatif menempel pada gerakan sipil, dan aspirasi substantif hilang.
Di sisi lain, pemerintah juga kehilangan kredibilitas ketika gagal merespons keresahan dengan bijak. Komunikasi publik yang buruk memperlebar jurang antara kebijakan dan penerimaan masyarakat. Akibatnya, setiap kebijakan baru dicurigai sebagai jebakan.
Budaya politik intrik yang terus dipelihara memperburuk keadaan. Alih-alih menjadi ruang musyawarah, demokrasi diperalat sebagai arena adu siasat. Demonstrasi yang seharusnya kanal aspirasi rakyat malah dijadikan senjata politik untuk menggoyang legitimasi.
Ekonomi pun ikut terguncang oleh keresahan publik. Kebijakan fiskal yang membingungkan, seperti perubahan pajak tanpa penjelasan rinci, langsung menekan kepercayaan masyarakat. Situasi ini mudah dimanfaatkan oleh kelompok yang ingin menggiring amarah menjadi aksi besar.
Jika komunikasi ekonomi tidak dibenahi, setiap regulasi akan selalu ditolak di jalanan. Rakyat sulit percaya pada kebijakan yang tidak transparan. Dalam kondisi ini, provokator hanya perlu sedikit percikan untuk menyalakan api.
Kemarahan publik yang menumpuk juga erat kaitannya dengan realitas ekonomi sehari-hari. Harga pangan naik, biaya hidup makin berat, dan kesempatan kerja tidak merata. Semua itu membuat masyarakat lebih sensitif terhadap kebijakan baru yang dianggap tidak berpihak.
Di desa, keresahan ekonomi ini bahkan lebih terasa. Ketika subsidi pupuk terlambat atau harga gabah jatuh, petani langsung merasakan dampaknya. Kebijakan pusat yang lamban atau tidak tepat sasaran memperkuat kesan bahwa negara abai pada wong cilik.
Sementara itu, di kota, generasi muda menghadapi tantangan berbeda. Banyak yang berpendidikan tinggi tetapi sulit mendapatkan pekerjaan yang layak. Frustrasi ini menjadi energi tambahan bagi demonstrasi, meski tuntutannya sering kali kabur.
Dalam konteks budaya politik Indonesia, demonstrasi memang punya akar sejarah panjang. Dari era reformasi hingga sekarang, aksi jalanan dianggap cara sah untuk menekan pemerintah. Namun, ketika budaya ini dipelihara tanpa disiplin narasi, ia menjadi ruang empuk bagi provokasi.
Tidak bisa dipungkiri, demokrasi kita masih rentan dibajak oleh kepentingan sempit. Protes sah sering kali ditunggangi, lalu diarahkan untuk tujuan politik tertentu. Ini merusak makna sejati demokrasi sebagai alat koreksi, bukan penghancur.
Solusinya harus konkret. Pertama, pemerintah perlu memperbaiki transparansi dan komunikasi kebijakan. Setiap perubahan regulasi harus dijelaskan dengan jelas dan terbuka agar tidak menjadi bahan fitnah. Rakyat butuh kepastian, bukan kejutan.
Kedua, aparat harus tegas menindak provokator, bukan menekan demonstran damai. Kebebasan menyampaikan pendapat harus dilindungi, tetapi mereka yang sengaja merusak tatanan harus diproses hukum. Penegakan aturan harus konsisten dan adil.
Ketiga, elite politik wajib berhenti bermain api dengan memanfaatkan keresahan rakyat. Kritik adalah bagian dari demokrasi, tapi sabotase adalah penghianatan terhadap bangsa. Negara harus berani membersihkan lingkaran birokrasi dari parasit politik.
Keempat, media dan masyarakat sipil punya peran penting dalam melawan provokasi. Literasi publik harus diperkuat agar masyarakat mampu memilah informasi. Tidak semua seruan aksi adalah aspirasi rakyat; ada yang sekadar skenario kelompok tertentu.
Akhirnya, demonstrasi adalah hak konstitusional yang harus dijaga. Tetapi jika hak ini dipelintir menjadi alat sabotase, yang lahir hanyalah kerusakan. Demokrasi sehat menuntut kritik yang membangun, bukan provokasi yang menghancurkan.
Pemerintah harus belajar mendengar, rakyat harus kritis menuntut, dan elite politik harus berhenti mempermainkan emosi publik. Hanya dengan itu ruang demokrasi bisa kembali menjadi sarana perbaikan, bukan ajang pertarungan provokator.