Di tengah sejarah Islam yang didominasi kisah para sahabat laki-laki, nama Nusaibah binti Ka’ab berdiri kokoh sebagai simbol keberanian perempuan sejati. Ia bukan hanya hadir dalam momen-momen penting dakwah Islam, tetapi juga menjadi perisai hidup bagi Nabi Muhammad SAW saat medan pertempuran paling genting. Lebih dari sekadar figur sejarah, Nusaibah adalah cermin keteladanan spiritual, sosial, dan moral yang pantas diangkat kembali dalam konteks perempuan masa kini.
Dikenal sebagai Ummu ‘Ammarah, Nusaibah berasal dari Bani Najjar dan termasuk dalam kelompok perempuan pertama yang berbaiat kepada Nabi dalam Bai’at Aqabah Kedua. Saat Perang Uhud berlangsung kacau dan banyak pasukan Muslim terpukul mundur, Nusaibah tidak lari. Ia justru maju ke depan untuk melindungi Rasulullah, memegang pedang dan perisai, dan bertahan dalam hujan panah dan tebasan musuh.
Perempuan di Garis Terdepan
Tindakan Nusaibah pada Perang Uhud bukan hanya keberanian fisik. Ia menunjukkan ketegasan moral luar biasa, berani bertindak ketika mayoritas justru menarik diri. Ia mengalami luka-luka serius, namun tidak mundur. Bahkan, Nabi SAW bersabda bahwa di mana pun beliau memandang, selalu terlihat Nusaibah berdiri membelanya.
Ini menjadikan Nusaibah bukan hanya sosok luar biasa di masa lalu, tapi juga inspirasi tentang bagaimana perempuan bisa tampil sebagai pelindung, pengambil keputusan, dan pemimpin dalam kondisi krisis. Di masa ketika perempuan cenderung dibatasi ruangnya, Nusaibah justru menembus batas itu dengan keyakinan dan tindakan nyata.
Relevansi di Era Modern
Di zaman modern ini, kisah Nusaibah mengandung banyak pelajaran. Pertama, keberanian bukan monopoli laki-laki. Ia bisa dimiliki siapa pun yang berpegang teguh pada prinsip. Perempuan, seperti Nusaibah, berhak dan mampu mengambil posisi penting dalam perjuangan apa pun: keadilan sosial, pendidikan, lingkungan, atau spiritualitas.
Kedua, Nusaibah menunjukkan bahwa pemimpin tak selalu harus punya jabatan. Ia tidak disebut sebagai komandan, tapi tindakannya menjadi teladan. Perempuan hari ini juga bisa menjadi pemimpin di komunitasnya melalui sikap, keberanian bersuara, dan keuletan memperjuangkan nilai.
Ketiga, ia adalah ibu yang sukses menanamkan nilai perjuangan kepada anaknya. Putranya, Habib bin Zaid, adalah sahabat yang gugur mempertahankan Islam dari nabi palsu Musailamah Al-Kadzab. Ini menjadi bukti bahwa pendidikan spiritual dan nilai perjuangan bermula dari rumah peran yang selama ini melekat pada sosok ibu.
Nilai yang Tak Pernah Usang
Perjuangan Nusaibah bukanlah semata tentang pertempuran fisik, tetapi juga spiritual. Ia membela Nabi bukan karena fanatisme buta, melainkan karena pemahaman akan kebenaran dan cintanya pada ajaran yang dibawa beliau. Keberanian seperti inilah yang hari ini dibutuhkan untuk menghadapi tantangan dunia: krisis nilai, degradasi moral, dan tekanan sosial terhadap perempuan.
Dengan menjadikan sosok seperti Nusaibah sebagai referensi, perempuan zaman kini akan melihat bahwa kekuatan mereka bukan hanya ada di ruang domestik, tapi juga bisa menjadi penggerak transformasi masyarakat. Bukan hanya dalam peran tradisional, tetapi juga dalam posisi strategis, pengambilan kebijakan, dan dunia pendidikan.
Nusaibah binti Ka’ab bukan hanya ikon masa lalu. Ia adalah inspirasi masa kini dan masa depan. Teladannya menunjukkan bahwa perempuan bisa menjadi benteng peradaban, bukan dengan kekuatan semata, tetapi dengan keberanian memilih sikap, membela nilai, dan mendidik generasi.
