Pernahkah kita bertanya, mengapa rumah sakit yang memiliki banyak tenaga medis dan fasilitas lengkap tetap harus diverifikasi ulang klaim BPJS? Jawabannya sederhana sekaligus menyakitkan: karena praktik manipulasi masih merajalela. Tidak sedikit rumah sakit yang memanfaatkan celah administratif demi keuntungan finansial, bahkan dengan mengorbankan hak pasien.
Fenomena manipulasi klaim rawat inap bukan sekadar rumor. Salah satu pola yang marak adalah memecah masa rawat inap pasien. Pasien yang seharusnya dirawat sepuluh hari penuh justru dipulangkan setelah tiga hari. Lalu, dua hari kemudian, pasien diizinkan masuk lagi. Dengan cara ini, rumah sakit bisa mengajukan dua klaim berbeda kepada BPJS, seolah pasien mengalami dua kejadian sakit yang terpisah. Padahal, secara medis, pasien seharusnya dirawat terus sampai benar-benar pulih.
Menurut laporan BPJS Kesehatan pada akhir 2024, potensi kerugian negara akibat kecurangan layanan kesehatan mencapai lebih dari Rp2 triliun per tahun. Angka ini sangat besar dan menunjukkan lemahnya pengawasan sistem. Dana yang bocor itu bisa digunakan untuk memperbaiki fasilitas kesehatan di daerah terpencil, meningkatkan gaji tenaga medis, atau menambah stok obat dan vaksin. Namun, realitasnya, dana tersebut justru hilang di tengah permainan laporan palsu dan administrasi manipulatif.
Salah satu modus lain yang kerap terjadi adalah mendorong pasien rawat jalan atau pasien UGD untuk menjalani rawat inap tanpa indikasi medis yang jelas. Tujuannya jelas: meningkatkan nilai klaim. Begitu pasien masuk rawat inap, rumah sakit punya ruang lebih luas untuk menambah daftar tindakan medis dan memperbesar biaya layanan. Jika ternyata tidak sesuai, pasien bisa dipulangkan lebih cepat, lalu dimasukkan kembali beberapa hari kemudian. Celah ini menambah beban BPJS, sekaligus membuat pasien kehilangan hak atas perawatan yang manusiawi dan sesuai kebutuhan.
Dari sudut hukum, tindakan manipulasi klaim ini melanggar berbagai regulasi. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS dengan tegas mewajibkan rumah sakit memberikan pelayanan berdasarkan indikasi medis yang objektif, bukan atas dasar kepentingan keuntungan. Pelanggaran terhadap aturan ini seharusnya berujung pada sanksi administratif, pencabutan kerja sama, hingga proses pidana. Namun, dalam praktiknya, penegakan hukum sering kali mandek di meja birokrasi.
Dari perspektif sosial, praktik manipulasi ini menambah jurang ketidakadilan dalam pelayanan kesehatan. Masyarakat miskin yang sangat bergantung pada BPJS justru menjadi korban. Mereka sering kali tidak memahami hak-haknya, takut mempertanyakan prosedur rumah sakit, dan terpaksa mengikuti instruksi meskipun merugikan kondisi kesehatannya. Rumah sakit, yang seharusnya menjadi benteng terakhir bagi keselamatan pasien, berubah menjadi mesin pendulang klaim.
Secara ekonomi, kebocoran dana kesehatan menghambat banyak program prioritas. Pemerintah berusaha keras memperluas cakupan layanan kesehatan, memperbaiki gizi anak, menurunkan angka stunting, serta memperbaiki layanan kesehatan di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar). Tapi semua usaha itu terancam gagal jika anggaran justru dikuras lewat manipulasi klaim.
Fenomena ini juga mencerminkan budaya birokrasi di Indonesia yang masih lemah dalam pengawasan. Verifikasi klaim sering kali hanya berbasis berkas tanpa pengecekan langsung di lapangan. Padahal, di banyak negara maju, seperti Jepang atau Korea Selatan, audit dilakukan dengan sistem kunjungan mendadak, pemeriksaan rekam medis digital, hingga penggunaan teknologi big data untuk mendeteksi pola klaim abnormal.
Solusi mendesak harus diambil. Pertama, BPJS perlu memperkuat sistem audit dengan pendekatan berbasis teknologi. Data klaim harus dianalisis secara menyeluruh untuk mendeteksi pola rawat inap yang mencurigakan. Audit mendadak harus menjadi prosedur rutin, bukan sekadar formalitas administratif.
Kedua, pemerintah harus memperketat regulasi dan memperkuat penegakan hukum. Rumah sakit yang terbukti memanipulasi klaim harus dikenai sanksi tegas: mulai dari denda, penghentian kerja sama, hingga proses hukum pidana. Penindakan tegas akan memberi efek jera dan memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem kesehatan nasional.
Ketiga, perlindungan hak pasien harus diperluas. Pasien harus diberi ruang untuk melaporkan praktik curang rumah sakit tanpa rasa takut. Sosialisasi hak-hak pasien harus diperkuat melalui media massa, media sosial, hingga fasilitas kesehatan primer. Lembaga seperti Ombudsman dan Lembaga Perlindungan Konsumen harus proaktif melakukan pendampingan.
Keempat, internal rumah sakit sendiri harus melakukan reformasi etika pelayanan. Pendidikan dan pelatihan tenaga medis harus kembali menekankan nilai kemanusiaan dan tanggung jawab moral. Rumah sakit bukan perusahaan semata. Di dalamnya ada nyawa manusia yang harus diutamakan di atas segalanya.
Terakhir, peran masyarakat sipil, media, dan organisasi independen sangat krusial. Pengawasan publik harus diperluas. Media harus berani mengungkapkan praktik curang dan membuka ruang diskusi agar masyarakat lebih sadar. Laporan investigasi, diskusi publik, dan kampanye kesadaran bisa menjadi gerakan kolektif untuk mendesak perbaikan.
Di tengah berbagai tantangan ekonomi dan krisis global, layanan kesehatan seharusnya menjadi wilayah yang steril dari permainan kepentingan. Ketika kesehatan dijadikan komoditas, maka kita semua berisiko kehilangan hak paling dasar: hak untuk hidup dengan aman dan bermartabat.
Sebagai media, kami menegaskan perlunya langkah cepat dan tegas untuk menutup celah-celah curang dalam layanan rumah sakit. Penegakan hukum harus dikedepankan, audit diperkuat, dan etika profesi ditanamkan kembali. Negara wajib hadir untuk memastikan setiap warga negara mendapat layanan kesehatan yang adil, manusiawi, dan bebas dari praktik manipulasi.