Jakarta – “Teror tak bisa jadi alat koreksi.” Demikian penegasan Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, menanggapi insiden pengiriman kepala babi ke jurnalis Tempo, Francisca Christy Rosana (Cica). Dalam konferensi pers di Jakarta pada Jumat (21/3/2025), Dewan Pers mendesak Polri mengusut tuntas pelaku teror yang mengancam integritas kebebasan pers di Indonesia.
Kiriman tersebut diterima satuan pengamanan Tempo pada Rabu (19/3/2025) pukul 16.15 WIB, dan ditujukan langsung kepada Cica, host siniar Bocor Alus Politik. Kepala babi itu dibungkus dalam kotak kardus berlapis styrofoam. Cica sendiri baru menerima paket tersebut keesokan harinya saat kembali ke kantor untuk rekaman.
“Ini bukan sekadar teror simbolik, tapi ancaman terhadap kemerdekaan pers yang dijamin oleh konstitusi,” kata Ninik.
Ia mengutip Pasal 2 dan 4 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjamin kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara.
Ninik menekankan bahwa segala bentuk ketidakpuasan terhadap pemberitaan harus ditempuh melalui mekanisme hukum, seperti hak jawab dan hak koreksi, bukan dengan tindakan premanisme.
“Jurnalis bisa saja salah, tapi meresponsnya dengan kekerasan adalah tindakan yang tidak berperikemanusiaan dan melanggar HAM,” tegasnya.
Wakil Menteri Komunikasi dan Digital Nezar Patria juga menyampaikan keprihatinannya. Mantan Ketua AJI itu menekankan bahwa penyelesaian sengketa pers harus sesuai UU Pers, dan menghindari tindakan sepihak yang merusak demokrasi.
Redaksi Tempo sendiri mengaku tidak mengetahui motif di balik teror tersebut. Menurut Wakil Pemimpin Redaksi Tempo Bagja Hidayat, peliputan mereka selama ini berjalan normal, termasuk isu banjir dan revisi UU TNI yang juga diberitakan oleh media lain.
Dengan berbagai tekanan ini, Dewan Pers berharap kepolisian tidak ragu untuk bertindak cepat. Ancaman semacam ini jika dibiarkan, dikhawatirkan akan mengulang pola-pola kekerasan terhadap jurnalis di masa lalu.
