Polemik tentang keaslian ijazah Presiden Joko Widodo tampaknya belum akan padam dalam waktu dekat. Isu ini terus muncul, bukan semata karena kekuatan fitnah, tapi karena pemerintah dan pihak-pihak terkait gagal menyajikan satu narasi yang utuh dan konsisten. Yang terjadi justru sebaliknya: pernyataan saling tumpang tindih, klaim berubah-ubah, dan ketidakjelasan bukti di ruang publik.
Salah satu contoh yang paling membingungkan publik adalah pernyataan soal keberadaan fisik ijazah itu sendiri. Di satu sisi, pihak Universitas Gadjah Mada (UGM) pernah menyatakan bahwa mereka tidak memiliki salinan atau dokumen fisik ijazah Jokowi karena ijazah diberikan langsung ke mahasiswa saat kelulusan. Bahkan, dalam beberapa laporan, ada yang menafsirkan bahwa pihak kampus “kehilangan” atau “tidak tahu keberadaan fisiknya”.
Di sisi lain, pengacara Presiden Jokowi justru menyatakan telah melihat ijazah aslinya secara langsung. Klaim ini, tentu saja, menimbulkan harapan bahwa dokumen itu bisa segera ditampilkan ke publik. Namun nyatanya, hingga saat ini, tidak ada satu pun bukti visual atau audit terbuka yang diperlihatkan kepada masyarakat luas.
Ini bukan soal siapa yang benar atau salah. Ini soal bagaimana pemerintah dan institusi pendidikan kita menyampaikan informasi penting dengan narasi yang kacau. Ketika pihak kampus, pengacara, dan Presiden menyampaikan pernyataan yang tidak sinkron, publik wajar merasa curiga. Bahkan bagi mereka yang tidak mempercayai teori konspirasi, ketidakpastian seperti ini terasa mengganggu.
Yang diminta publik sangat sederhana: tunjukkan dokumen yang bisa mengakhiri polemik ini selamanya. Tapi justru yang diberikan adalah pernyataan yang berubah-ubah, penuh retorika, dan—lebih buruk lagi—terkesan menantang nalar publik.
Jika memang tidak ada masalah, kenapa harus rumit menjelaskannya? Jika memang ijazah asli ada, kenapa tidak cukup satu momen konferensi pers saja untuk menunjukkan dokumen itu, sekali dan untuk selamanya?
Argumentasi bahwa “dokumen itu milik pribadi dan tidak wajib dipamerkan” mungkin benar secara hukum. Tapi dalam konteks pejabat publik, terutama seorang Presiden, transparansi adalah bagian dari tanggung jawab etis. Rakyat berhak tahu latar belakang akademik orang yang mereka percayakan memimpin negeri ini.
Apalagi, polemik ini bukan muncul sehari dua hari. Tuduhan ini sudah beredar sejak Jokowi menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Artinya, sudah lebih dari satu dekade isu ini berseliweran, dan selama itu pula belum ada langkah konkret dari Presiden untuk menutupnya dengan bukti, bukan dengan ancaman hukum.
Mengandalkan klarifikasi dari pihak ketiga tidak cukup. Klarifikasi UGM memang sah secara institusional, tapi ia tidak menjawab pertanyaan utama: Di mana fisik ijazah itu? Kenapa tidak pernah ditunjukkan?
Klaim pengacara yang menyatakan telah melihat dokumen aslinya pun tidak akan menyelesaikan apa pun jika hanya disampaikan secara lisan. Dalam era informasi digital seperti sekarang, publik butuh transparansi visual dan akses terbuka.
Dalam setiap pemilu, calon kepala desa hingga presiden diminta menyetorkan dokumen pribadi, termasuk ijazah. Ironisnya, verifikasi KPU hanya bersifat administratif, tanpa proses audit yang terbuka dan menyeluruh. Inilah yang memperkuat narasi bahwa sistem kita membuka celah terhadap manipulasi dokumen.
Lebih parah lagi, pernyataan inkonsisten dari lembaga-lembaga negara membuat situasi menjadi absurd. Bagaimana mungkin, dalam sistem pemerintahan modern, narasi resmi negara bisa sekacau ini?
Jika pemerintah ingin menghentikan polemik ini, caranya sangat mudah: tunjukkan ijazahnya. Jika tidak bisa, maka harus dijelaskan mengapa. Jika hilang, katakan hilang dan siapa yang bertanggung jawab. Jika ada di tangan pribadi, maka Presiden sendiri yang seharusnya menjelaskannya secara langsung.
Dalam politik, persepsi adalah segalanya. Ketika persepsi publik dibiarkan mengambang, maka spekulasi akan tumbuh liar. Fitnah bisa dipotong dengan fakta. Tapi jika fakta justru dibiarkan samar, jangan salahkan rakyat bila mereka menaruh curiga.
Kita harus belajar dari kasus ini bahwa narasi negara tidak boleh dikelola dengan sembrono. Informasi yang menyangkut identitas pejabat publik harus disampaikan secara utuh, konsisten, dan mudah diakses. Jika tidak, maka kepercayaan publik akan terus tergerus.
Di titik ini, publik tidak sedang menuntut Presiden untuk membuktikan bahwa ia sarjana. Publik hanya ingin negara ini punya standar keterbukaan yang pantas untuk diteladani.
Dan satu hal yang harus diingat: semakin keras negara menolak membuka bukti, semakin kuat kecurigaan publik akan tumbuh.