Kekalahan Ridwan Kamil dan Suswono (RIDO) dalam Pilkada Jakarta 2024 menjadi antiklimaks yang mengejutkan. Pasangan ini didukung koalisi besar, Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus, yang mendominasi DPRD Jakarta. Selain itu, dukungan terbuka dari Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden Joko Widodo seharusnya menjadi keunggulan. Namun, hasil akhir menunjukkan pasangan Pramono Anung dan Rano Karno (Pramono-Rano) keluar sebagai pemenang dengan perolehan suara 50,07%. Sementara RIDO hanya meraih 39,4%.
Fakta ini menggambarkan bahwa dukungan politik yang besar tidak selalu menjadi jaminan kemenangan. Kekalahan RIDO membuka diskusi tentang strategi politik, respons publik, hingga dinamika sosial yang memengaruhi hasil Pilkada Jakarta.
Hasil survei dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan bahwa dukungan terbuka dari Prabowo dan Jokowi justru memicu sentimen negatif. Sebanyak 34%-38% responden menilai bahwa kepala negara, baik yang sedang menjabat maupun mantan, tidak seharusnya memberikan dukungan politik secara terang-terangan.
Sentimen itu semakin kuat di kalangan pemilih Jakarta, yang cenderung lebih kritis dan sensitif terhadap isu oligarki serta dinasti politik.
Selain itu, lemahnya efektivitas mesin politik KIM Plus di Jakarta menjadi faktor lain. Tidak seperti di provinsi lain, basis suara partai koalisi di Jakarta terlihat terpecah. PKS, yang sebelumnya menjadi pendukung Anies Baswedan, bahkan mengalami pergeseran suara karena konflik internal dan dinamika Pilpres 2024.
Dalam Pilkada Jakarta, popularitas individu sering kali menjadi faktor penentu. Rano Karno, dengan citranya sebagai tokoh budaya Betawi melalui perannya sebagai “Doel,” berhasil meraih simpati masyarakat Jakarta. Tingkat kesukaan terhadap Rano mencapai 92,4%, jauh melampaui Suswono yang hanya mencapai 74,4%.
Pramono-Rano juga memiliki strategi kampanye yang lebih efektif. Data Parameter Politik Indonesia menunjukkan bahwa alat peraga kampanye Pramono-Rano terlihat oleh 87,3% responden, dibandingkan hanya 80,5% untuk RIDO. Kampanye yang agresif dan didukung oleh narasi yang kuat mampu menjangkau basis massa yang lebih luas.
Sebaliknya, pasangan RIDO menghadapi berbagai tantangan. Salah satu penyebab utama adalah ketidaksukaan terhadap sejumlah pernyataan kontroversial Suswono, termasuk isu “kartu janda,” yang dianggap tidak sensitif dan merugikan citra pasangan tersebut. Dukungan dari tokoh-tokoh populer seperti Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terhadap Pramono-Rano juga memberikan dampak signifikan.
Basis pendukung Anies yang besar di Jakarta berpindah ke pasangan ini setelah Anies secara terbuka memberikan endorsement pada November 2024.
Kekalahan RIDO mengajarkan pentingnya memahami dinamika sosial dan politik lokal. Jakarta, sebagai pusat politik dan ekonomi nasional, memiliki karakteristik pemilih yang berbeda dibandingkan daerah lain. Rasionalitas, sensitivitas terhadap isu oligarki, dan apresiasi terhadap pemimpin dengan kedekatan budaya lokal menjadi faktor penentu.
Strategi kampanye yang hanya mengandalkan dukungan elit politik tanpa memperhatikan aspirasi akar rumput terbukti tidak efektif. RIDO kehilangan momentum untuk membangun narasi yang relevan dengan kebutuhan masyarakat Jakarta.
Dari kekalahan ini, ada beberapa rekomendasi yang dapat diambil. Partai pendukung perlu lebih memahami kebutuhan dan preferensi pemilih lokal. Strategi kampanye harus relevan dengan konteks budaya dan sosial setempat.
Dukungan politik dari tokoh nasional harus dilengkapi dengan upaya untuk membangun kepercayaan langsung dengan masyarakat. Komunikasi yang kuat di tingkat lokal menjadi kunci keberhasilan. Kandidat harus menghindari pernyataan atau kebijakan yang kontroversial dan tidak sensitif.
Sebaliknya, fokus pada solusi konkret untuk masalah lokal lebih diutamakan. Koalisi pendukung juga harus solid dalam menggerakkan mesin politik, dengan memastikan keselarasan antara narasi nasional dan lokal.
Kekalahan RIDO di Pilkada Jakarta menunjukkan bahwa kemenangan tidak hanya ditentukan oleh dukungan besar dari elite politik, tetapi juga oleh kemampuan untuk menjangkau hati dan pikiran masyarakat. Pemilih Jakarta membutuhkan pemimpin yang memahami kebutuhan mereka, bukan sekadar figur yang didukung oleh kekuatan politik besar.