Di era ketika hampir semua orang bisa menjadi “relawan”, batas antara pengabdian dan kebingungan semakin tipis. Banyak yang turun tangan dengan niat baik, tapi tanpa cukup memahami konteks dari apa yang sedang mereka perjuangkan. Padahal, niat baik saja tidak cukup untuk membawa perubahan—ia membutuhkan pengetahuan, logika, dan akal sehat.
Pernyataan “relawan juga harus melihat detail supaya bisa memverifikasi informasi yang diberikan” terasa sederhana, tapi sangat relevan dengan kondisi hari ini. Banyak gerakan sosial dan politik diisi oleh orang-orang yang semangat, tapi minim pemahaman. Mereka bergerak cepat, tapi sering tanpa arah yang jelas. Relawan semacam itu lebih mudah terseret arus narasi, dibanding memahami realitas yang sebenarnya.
Relawan ideal bukanlah mereka yang hanya bersuara lantang, melainkan yang mau memeriksa data, menelaah konteks, dan memahami tujuan. Mengutip ungkapan populer, “niat baik tanpa pengetahuan bisa menjadi bencana.” Ketika semangat mengalahkan nalar, maka kebenaran bisa tergantikan oleh keyakinan yang salah.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di ranah politik, tapi juga di bidang sosial, kemanusiaan, bahkan keagamaan. Banyak yang mengklaim sedang “membela rakyat” atau “membela kebenaran”, tetapi tidak tahu siapa yang sebenarnya diuntungkan dari gerakan yang mereka dukung. Akibatnya, relawan yang mestinya menjadi penjaga moral publik, justru mudah dimanfaatkan oleh pihak yang pandai memainkan narasi.
Di tengah kebisingan informasi, kemampuan memverifikasi menjadi hal yang paling penting. Menjadi relawan hari ini bukan hanya soal turun ke jalan, tetapi juga soal berpikir kritis: apakah data yang kita sebar benar? apakah narasi yang kita dukung berpihak pada kebenaran, atau sekadar menguntungkan pihak tertentu?
Ironisnya, banyak orang yang justru takut berpikir kritis karena khawatir dianggap berbeda dari “barisan perjuangan”. Padahal, justru dari kritik dan perbedaan itulah gerakan bisa tumbuh dewasa. Tanpa refleksi, relawan akan terjebak dalam ritual pengulangan yang tidak produktif—seperti “memeriksa fotokopian yang sama setiap kali ada masalah baru”.
Maka benar apa yang disinggung dalam kutipan itu: lebih baik kita punya kemajuan kecil yang nyata daripada sibuk dengan simbolisme tanpa isi. Relawan harus berani belajar, membaca, dan mendengar dengan sabar sebelum bertindak. Pengabdian sejati selalu dimulai dari pemahaman yang mendalam, bukan dari kepanikan kolektif.
Dan jika ada yang berkata, “Wallahu a‘lam, saya tidak berani menjelaskan lebih jauh,” maka itu bisa dimaknai sebagai bentuk kerendahan hati. Tidak semua hal harus dijawab dengan gegabah. Dalam dunia yang serba bising oleh opini, diam untuk berpikir justru bisa menjadi sikap yang paling bijak.
Menjadi relawan bukan soal seberapa keras berteriak, tapi seberapa dalam kita memahami apa yang sedang diperjuangkan. Relawan yang cerdas tahu kapan harus bicara, kapan harus mendengar, dan kapan harus berhenti agar tidak menjadi alat dari kebingungan kolektif.
Karena pada akhirnya, bangsa ini tidak butuh lebih banyak teriakan. Ia butuh lebih banyak akal sehat, empati, dan ketulusan yang berpijak pada pengetahuan.
