Fenomena penggunaan vape memasuki babak baru. Singapura baru saja melaporkan lebih dari 3.700 orang ditangkap hanya dalam periode April hingga Juni 2025. Semua ditindak karena melanggar larangan kepemilikan dan penggunaan rokok elektrik.
Pemerintah negeri itu bahkan memperlakukan kasus vape layaknya narkotika. Terlebih ketika cairannya ditemukan dicampur etomidate, zat anestesi berbahaya. Langkah ini menegaskan bahwa kesehatan publik ditempatkan di atas kepentingan industri.
Indonesia justru berada di sisi sebaliknya. Vape masih mudah ditemukan di toko, jalanan, hingga lapak daring. Tidak ada larangan total, meski BPOM telah mengklasifikasikan produk ini sebagai zat adiktif.
BNN memang pernah menyita ribuan vape mengandung zat berbahaya. Namun, pemerintah belum menunjukkan sikap jelas. Regulasi masih tarik ulur antara pelarangan penuh atau sekadar pengaturan cukai dan distribusi.
Kontras dengan Singapura, kebijakan Indonesia tampak gamang. Negara tetangga itu memperkuat operasi hingga ke sekolah dan kamp militer. Di Indonesia, pengguna remaja justru kian leluasa memamerkan vape sebagai simbol gaya hidup.
Kementerian Kesehatan RI mencatat prevalensi pengguna rokok elektrik naik dari 0,3 persen pada 2011 menjadi hampir 3 persen pada 2021. Mayoritas penggunanya remaja dan dewasa muda. Tren ini mengkhawatirkan jika dibiarkan berlanjut.
Ironisnya, pemerintah lebih menekankan aspek penerimaan pajak. Pada 2022, cukai hasil pengolahan tembakau lain, termasuk vape, menyumbang Rp1,3 triliun. Jumlah ini membuat pemerintah cenderung menutup mata terhadap risiko kesehatan.
Padahal WHO berulang kali menegaskan rokok elektrik bukan solusi sehat. Produk ini hanya bentuk baru adiksi nikotin. Dampaknya meluas dari gangguan paru, penyakit jantung, hingga kerusakan permanen.
Dari sisi sosial, sikap permisif masyarakat memperburuk keadaan. Banyak orang tua bahkan tidak menyadari vape lebih berbahaya daripada rokok konvensional. Anak muda terjebak pada tren gaya hidup yang ditopang media sosial.
Normalisasi inilah yang menjerumuskan. Vape dipoles dengan citra modern, digital, dan keren. Padahal, kandungan nikotin dan bahan kimia cairan bisa menimbulkan efek kecanduan yang jauh lebih dalam.
Dari sisi hukum, Indonesia terjebak dalam ambiguitas regulasi. PP Nomor 109 Tahun 2012 belum sepenuhnya menampung produk-produk baru seperti vape. Akibatnya, industri bisa memanfaatkan celah hukum untuk terus berkembang.
Singapura menunjukkan arah berbeda. Kolaborasi antar-lembaga diperkuat. Pemeriksaan dilakukan di perbatasan, sekolah, dan fasilitas militer. Bahkan unggahan vape di media sosial bisa berujung denda dan tuntutan.
Kebijakan itu mencerminkan keseriusan melindungi rakyat. Negara tersebut menegaskan bahwa kesehatan publik bukan urusan individu semata. Melainkan tanggung jawab negara yang tidak bisa dinegosiasikan.
Argumen pro-vape di Indonesia masih berkutat pada lapangan kerja dan pajak. Namun, jika dihitung biaya kesehatan publik, keuntungan ini tidak sebanding. WHO memperkirakan biaya pengobatan akibat nikotin jauh melampaui penerimaan cukai.
Indonesia berisiko menanggung beban ganda. Generasi muda kehilangan produktivitas karena sakit kronis. Negara pun terpaksa mengeluarkan anggaran besar untuk menutupi biaya perawatan.
Dari sisi budaya, masalah ini bukan hal baru. Indonesia sudah lama permisif terhadap adiksi. Rokok konvensional dilekatkan pada maskulinitas dan kebersamaan. Vape hanya mengulang pola lama dengan wajah modern.
Jika tidak ada intervensi, siklus ini akan berulang. Generasi muda yang kini menganggap vape sebagai tren, kelak akan menjadi pasien penyakit kronis. Negara pun sibuk memadamkan krisis kesehatan massal.
Lalu, apa jalan keluar? Pertama, pemerintah harus menentukan sikap tegas. Tidak cukup hanya mengatur pajak. Apakah vape dilarang total atau diatur ketat? Ambiguitas hanya memberi ruang industri mengeksploitasi.
Kedua, literasi publik harus diperkuat. Kampanye kesehatan mesti disesuaikan dengan bahasa anak muda. Platform digital perlu dimanfaatkan agar pesan lebih mengena. Poster konvensional tidak lagi efektif.
Ketiga, distribusi daring harus diawasi. Kolaborasi dengan e-commerce dan media sosial perlu dilakukan, sebagaimana Singapura sudah mempraktikkannya. Jika tidak, pasar daring akan menjadi pintu besar penyebaran.
Keempat, pendekatan rehabilitasi harus tersedia. Pengguna vape yang sudah kecanduan perlu mendapat akses bantuan. Bukan hanya ditindak secara represif, tetapi juga diberi jalan keluar untuk pulih.
Indonesia harus belajar dari Singapura. Menunda hanya akan membuat masalah meledak lebih besar. Proteksi kesehatan publik jauh lebih bernilai dibanding keuntungan sesaat.
Jika terus abai, “kebakaran” itu hanya menunggu waktu. Generasi muda menjadi korban pertama. Negara pun membayar harga mahal dari kelengahan yang seharusnya bisa dihindari.