Jakarta – Tiga organisasi sipil, yakni Transparency International Indonesia (TII), Themis Indonesia, dan Trend Asia secara resmi melaporkan dugaan korupsi pengadaan sewa private jet oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu (7/5/2025).
Laporan ini berangkat dari dugaan penyimpangan dalam proses pengadaan jet pribadi yang digunakan pada tahun anggaran 2024.
Peneliti TII, Agus Sarwono, menjelaskan bahwa pengadaan tersebut sejak awal sudah bermasalah karena dilakukan secara tertutup melalui e-katalog, tanpa transparansi yang memadai.
“Perusahaan yang dipilih tidak berpengalaman, masih tergolong baru, bahkan dikategorikan sebagai skala kecil. Ini rawan praktik suap atau kickback,” kata Agus di Gedung Merah Putih KPK.
Masalah makin mencuat setelah ditemukan dua kontrak terpisah untuk satu pengadaan yang sama, masing-masing senilai Rp40,1 miliar dan Rp25,2 miliar.
Total nilai kontrak mencapai Rp65,49 miliar, melebihi pagu anggaran resmi yang tercatat di SIRUP LKPP sebesar Rp46,19 miliar. Hal ini menimbulkan dugaan kuat terjadinya mark-up anggaran.
Lebih lanjut, Koalisi Antikorupsi menyatakan bahwa penggunaan jet pribadi tersebut tidak relevan dengan tahapan distribusi logistik Pemilu 2024.
Jet justru digunakan setelah proses distribusi selesai, dan rutenya tidak menyentuh daerah-daerah terluar yang sulit dijangkau, sebagaimana diklaim KPU.
“Dari analisis rute, jet ini justru dipakai ke daerah-daerah yang bukan prioritas logistik. Indikasinya, digunakan untuk kepentingan lain di luar Pemilu,” jelas Agus.
Ketiga, penggunaan jet pribadi itu diduga melanggar aturan perjalanan dinas. Permenkeu No. 113/PMK.05/2012 jo PMK No. 119/2023 menetapkan bahwa pejabat negara hanya boleh menggunakan kelas bisnis dalam penerbangan domestik.
Adanya penggunaan jet pribadi diduga bertentangan dengan ketentuan tersebut.
Sebelumnya, pihak KPU belum memberikan tanggapan resmi terkait laporan ini. Namun pengamat menilai dugaan ini serius karena menyangkut transparansi anggaran negara dan integritas penyelenggaraan Pemilu.
Jika laporan ini terbukti, bukan hanya berpotensi merugikan keuangan negara, tapi juga mencoreng kepercayaan publik terhadap independensi dan kredibilitas lembaga penyelenggara Pemilu.
