Jakarta – Seperti gema yang tak kunjung padam, bencana yang melanda Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara kembali menjadi pengingat keras bahwa alam sedang “berbicara”. Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno menyebut rangkaian banjir, longsor, dan cuaca tak menentu itu sebagai alarm nyata krisis iklim yang tak boleh lagi diabaikan.
Dalam pernyataannya seusai menghadiri Conference on Indonesian Foreign Policy (CIFP) 2025 di Jakarta pada Minggu (30/11/2025), Eddy menegaskan bahwa perubahan pola cuaca dan kenaikan temperatur di berbagai kota besar telah menunjukkan tanda-tanda yang tak bisa dipungkiri. Ia menyebut perilaku manusia terutama pembalakan liar dan pengambilan pasir besar-besaran sebagai faktor yang memperburuk situasi.
“Indikasi krisis iklim makin jelas saat bencana terus terjadi di berbagai daerah,” ujarnya. Eddy menambahkan bahwa kecenderungan banjir bandang, tanah longsor, hingga hujan deras di musim kemarau merupakan konsekuensi dari kerusakan lingkungan yang dibiarkan berlarut-larut.
Menurut Eddy, kejadian yang menimpa sejumlah wilayah Sumatera dalam beberapa pekan terakhir harus menjadi momentum bagi pemerintah pusat dan daerah untuk mengevaluasi kebijakan pengelolaan lingkungan. Ia menilai alih fungsi lahan yang kian masif untuk permukiman dan industri berkontribusi besar dalam mengubah keseimbangan ekologis.
“Kita tak bisa lagi menutup mata terhadap dampaknya. Kerusakan hutan dan tata ruang yang tak tertib membuat banyak wilayah kehilangan pelindung alaminya,” katanya.
Ia secara khusus menyoroti viralnya potongan kayu gelondongan yang terseret arus banjir bandang di Sumatera. Temuan tersebut memunculkan dugaan kuat adanya praktik illegal logging di kawasan hutan. Dalam menanggapi itu, Eddy menegaskan perlunya penegakan hukum yang lebih berani dan tak pandang bulu.
“Adanya kayu gelondongan yang terlihat jelas di depan mata kita harus ditelusuri. Jika sumbernya legal, lihat izinnya. Jika tidak, harus ada penegakan hukum yang kuat dan konsekuen agar ada efek jera,” tegasnya dalam pernyataan terpisah.
Ia juga mengapresiasi sikap Presiden Prabowo Subianto yang menurutnya telah menunjukkan komitmen mengambil tindakan tegas terhadap individu maupun perusahaan yang terbukti merusak lingkungan, mulai dari pembalak liar hingga pelaku pencemaran tanah dan air. Eddy berharap penyelidikan terhadap asal-usul kayu-kayu yang hanyut itu dilakukan secepat mungkin demi mencegah munculnya korban-korban baru akibat kerusakan hutan.
Lebih jauh, Eddy mengingatkan bahwa mitigasi bencana harus berjalan berdampingan dengan penataan ulang tata kelola lingkungan. Ia menilai respons cepat diperlukan bukan hanya untuk menanggulangi dampak bencana saat ini, tetapi juga untuk mengurangi potensi krisis serupa di masa mendatang.
Situasi ini, tambahnya, harus menjadi refleksi sekaligus titik balik dalam memperbaiki relasi manusia dengan alam. “Kita menghadapi fakta bahwa krisis iklim bukan ancaman masa depan ia sudah terjadi sekarang,” katanya.
Dengan meningkatnya intensitas bencana di berbagai wilayah, Eddy menegaskan perlunya tindakan komprehensif yang menyentuh aspek penegakan hukum, konservasi, dan pengawasan tata ruang. Ia berharap pemerintah dan masyarakat dapat bergerak lebih sigap demi menekan dampak bencana yang kian sering terjadi.
