Di tengah sorotan publik terhadap kinerja kabinet Prabowo-Gibran, sebuah nama mencuat sebagai figur dengan tingkat kepuasan tertinggi: Prof. Nasaruddin Umar, Menteri Agama, yang meraih apresiasi publik hingga 92,9% menurut survei nasional Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Januari 2025. Angka ini bukan sekadar statistik; ia mencerminkan respons positif masyarakat terhadap kebijakan dan pendekatan moderasi beragama yang diusungnya.
Namun, di balik prestasi tersebut, muncul catatan menarik terkait komitmen beliau terhadap integritas dan transparansi. Nasaruddin Umar baru-baru ini dikabarkan telah menyerahkan sejumlah hadiah yang diduga berkaitan dengan upaya gratifikasi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Langkah ini menjadi sorotan, bukan karena indikasi pelanggaran, melainkan karena transparansi yang jarang ditunjukkan secara terbuka oleh pejabat sekelas menteri.
Tindakan ini menciptakan dua narasi sekaligus: di satu sisi, publik melihat Nasaruddin sebagai pemimpin yang berani menjaga akuntabilitas, di sisi lain, muncul pertanyaan tentang sejauh mana praktik pemberian hadiah semacam ini telah menjadi bagian dari budaya birokrasi yang harus diwaspadai.
Apresiasi publik terhadap Nasaruddin Umar memang tidak datang tanpa alasan. Selama menjabat, ia dikenal berhasil menerapkan program “Moderasi Beragama 4.0”, yang menekankan pentingnya toleransi, dialog lintas iman, dan deradikalisasi di berbagai lembaga pendidikan keagamaan. Program ini mendapat respons positif karena mampu meredam potensi konflik sosial yang kerap muncul akibat politisasi isu-isu keagamaan.
Selain itu, Nasaruddin juga dinilai sukses melakukan reformasi dalam pelayanan haji dan umrah, dengan digitalisasi sistem yang mempercepat proses administrasi dan mengurangi potensi pungutan liar. Tidak mengherankan jika tingkat ketidakpuasan publik terhadapnya hanya sebesar 3,8%, jauh di bawah pejabat lainnya.
Namun, sorotan terhadap hadiah yang diserahkan ke KPK menambah dimensi baru dalam menilai kinerjanya. Apakah ini cerminan dari upaya menjaga integritas, atau justru indikasi adanya potensi celah dalam tata kelola kementerian? Yang jelas, langkah proaktif ini menunjukkan bahwa Nasaruddin memahami bahwa transparansi adalah bagian tak terpisahkan dari kepemimpinan yang efektif.
Fenomena ini juga menarik jika dibandingkan dengan menteri-menteri lain dalam kabinet. Misalnya, Abdul Mu’ti (Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah) dan Teddy Indra Wijaya (Sekretaris Kabinet) yang juga memiliki tingkat kepuasan tinggi, namun tidak menghadapi isu serupa. Ini menegaskan bahwa popularitas politik tidak selalu berjalan seiring dengan tantangan etika, dan publik kini lebih kritis dalam mengevaluasi pejabat berdasarkan integritas mereka, bukan sekadar capaian administratif.
Dari perspektif politik, langkah Nasaruddin Umar bisa dilihat sebagai bagian dari upaya menjaga legitimasi moral di tengah meningkatnya ketidakpercayaan publik terhadap institusi pemerintah. KPK, yang selama ini menjadi simbol pemberantasan korupsi, juga diuntungkan dari transparansi semacam ini karena menguatkan citra mereka sebagai lembaga yang tetap relevan di era politik modern.
Namun, tantangan ke depan lebih besar. Apresiasi publik adalah ujian berkelanjutan. Nasaruddin harus mampu menunjukkan bahwa langkah menyerahkan hadiah tersebut bukan hanya strategi citra, melainkan bagian dari komitmen untuk menciptakan pemerintahan yang bersih. Ia juga perlu memastikan bahwa budaya birokrasi di Kementerian Agama bebas dari praktik yang berpotensi melanggar etika, meski sering kali dianggap “sekadar formalitas” dalam hubungan kerja.
Dalam konteks ini, pemerintah perlu mendorong reformasi budaya birokrasi yang lebih menyeluruh. Pemberian hadiah kepada pejabat, meski dianggap wajar dalam beberapa tradisi, harus dikaji ulang dalam kerangka etika tata kelola pemerintahan modern. Regulasi tentang gratifikasi perlu diperketat, dan pendidikan antikorupsi harus menjadi bagian dari pelatihan kepemimpinan di semua tingkatan pemerintahan.
Kesimpulannya, Nasaruddin Umar telah menunjukkan bahwa integritas bukan sekadar retorika. Keberanian untuk transparan, bahkan saat berhadapan dengan isu sensitif, adalah kualitas yang jarang ditemukan di lingkaran birokrasi tingkat tinggi. Namun, langkah ini baru permulaan. Kepuasan publik adalah refleksi dari harapan yang terus berkembang—dan hanya bisa dijaga dengan konsistensi dalam menjaga moralitas dan akuntabilitas.