Polemik pagar laut terus berlarut, tetapi negara tampak ragu-ragu dalam bertindak. Dugaan korupsi, maladministrasi, hingga penerbitan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang mencurigakan sudah terang benderang. Ombudsman Banten bahkan mengonfirmasi adanya pelanggaran dalam proyek ini. Namun, alih-alih mengambil sikap tegas, pemerintah justru terkesan gamang dan lebih sibuk meredam kegaduhan daripada menegakkan keadilan.
Keberadaan pagar laut ini tidak muncul begitu saja. Sejak awal, proyek ini dipenuhi kontroversi—dari perizinan yang tidak transparan, dampak lingkungan yang diabaikan, hingga penggusuran ruang hidup nelayan. Nelayan, yang menjadi pihak paling terdampak, harus mengeluarkan biaya bahan bakar lebih tinggi karena rute melaut mereka terhalang. Menurut data yang beredar, kerugian nelayan akibat proyek ini telah mencapai Rp 24 miliar.
Namun, perdebatan soal pagar laut bukan sekadar persoalan nelayan. Ini adalah potret pertarungan antara kepentingan rakyat dan kekuatan modal yang disokong negara. Proyek ini memperlihatkan bagaimana pemerintah lebih berpihak pada investor daripada warga yang terdampak. Kejanggalan dalam penerbitan sertifikat HGB, yang mencakup lahan hingga 581 hektar, memperlihatkan ada aktor-aktor besar yang diuntungkan di balik proyek ini.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto sempat menyatakan bahwa pagar laut tidak ada kaitannya dengan Program Strategis Nasional (PSN). Namun, fakta di lapangan membuktikan bahwa proyek ini tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ekonomi skala besar. Jika benar tidak ada kaitannya, mengapa pemerintah begitu lambat dan ragu-ragu dalam menindak pelanggaran yang telah ditemukan?
Masalah utama dalam kasus pagar laut bukan hanya soal keberadaan fisik pagar itu sendiri, melainkan cara negara mengelola ruang publik yang seharusnya menjadi hak rakyat. Laut, dalam perspektif hukum internasional dan nasional, adalah bagian dari kawasan yang memiliki hak akses bagi masyarakat luas, terutama bagi mereka yang bergantung hidup pada sumber daya laut. Jika akses tersebut ditutup demi kepentingan korporasi, maka negara telah gagal menjalankan fungsi utamanya sebagai pelindung hak rakyat.
Dalam kasus ini, yang terjadi bukan hanya perampasan ruang hidup nelayan, tetapi juga pelemahan posisi mereka dalam struktur ekonomi nasional. Nelayan bukan sekadar kelompok pekerja informal yang bisa dengan mudah dipinggirkan. Mereka adalah bagian dari rantai produksi pangan yang krusial bagi ketahanan pangan nasional. Jika akses mereka terhadap laut semakin terbatas, dampaknya akan merembet ke sektor lain, termasuk harga ikan yang bisa semakin mahal di pasaran.
Lebih jauh, pagar laut menjadi simbol dari konflik agraria yang terus berulang di Indonesia. Dalam banyak kasus, proyek-proyek besar yang melibatkan penguasaan lahan skala besar selalu menyingkirkan masyarakat kecil dari ruang hidupnya. Hal ini terjadi di berbagai daerah, dari proyek perkebunan, tambang, hingga reklamasi pesisir. Polanya selalu sama: regulasi dibuat dengan dalih pembangunan, tetapi implementasinya justru menguntungkan segelintir kelompok elit.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah lemahnya respons negara dalam menangani persoalan ini. Kasus pagar laut seharusnya menjadi ujian bagi kredibilitas negara dalam menegakkan hukum. Jika dugaan korupsi sudah sedemikian nyata, mengapa aparat penegak hukum belum bertindak tegas? Jika nelayan dan masyarakat terdampak sudah berulang kali menyuarakan keresahan, mengapa respons pemerintah lebih banyak berupa klarifikasi daripada tindakan konkret?
Max Weber menyebut bahwa negara memiliki monopoli atas penggunaan kekuasaan yang sah. Namun, dalam kasus pagar laut, negara justru tampak tidak berdaya menghadapi kepentingan korporasi. Jika negara terus membiarkan proyek semacam ini berjalan tanpa koreksi, maka kepercayaan publik terhadap pemerintah hanya akan semakin runtuh.
Negara tidak perlu gusar dalam mengusut kasus ini—yang dibutuhkan adalah keberanian untuk menegakkan keadilan. Pemerintah memiliki semua instrumen hukum dan kewenangan yang cukup untuk menertibkan proyek yang melanggar aturan. Jika benar ada maladministrasi dan pelanggaran hukum dalam penerbitan HGB, maka sudah seharusnya ada pencabutan izin, pengembalian hak akses nelayan, dan proses hukum bagi pihak yang bertanggung jawab.
Jika pagar laut tetap dibiarkan berdiri tanpa ada tindakan korektif dari negara, maka ini akan menjadi preseden buruk bagi proyek-proyek serupa di masa depan. Investor lain akan melihat bahwa dengan modal dan pengaruh politik yang cukup, mereka bisa mengambil alih ruang publik tanpa hambatan berarti. Rakyat kecil yang terdampak hanya akan menjadi korban yang suaranya terus dipinggirkan.
Pemerintah seharusnya tidak hanya berperan sebagai fasilitator kepentingan investasi, tetapi juga sebagai penjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan hak-hak rakyat. Jika pemerintah benar-benar berkomitmen untuk menegakkan keadilan, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah memastikan bahwa proyek pagar laut dievaluasi secara menyeluruh. Jika terbukti ada pelanggaran, maka kebijakan harus diubah dan pihak yang bertanggung jawab harus diberi sanksi tegas.
Tanpa tindakan nyata, kasus pagar laut hanya akan menjadi simbol lain dari ketidakberdayaan negara di hadapan oligarki. Jika keadilan benar-benar masih ada di negeri ini, maka pagar laut tidak boleh hanya menjadi berita yang berlalu begitu saja—harus ada tindakan tegas yang menunjukkan bahwa negara masih berpihak kepada rakyatnya.