Jakarta – Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di DPR RI, Jazilul Fawaid, menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan pemilu nasional dan lokal justru menambah beban biaya negara. Ia menilai kebijakan ini tidak sejalan dengan semangat efisiensi yang saat ini digalakkan pemerintah.
Pernyataan itu disampaikan Jazilul dalam diskusi politik yang digelar di Gedung DPR RI, Jakarta Pusat, pada Jumat (4/7/2025). Ia mengibaratkan pelaksanaan dua kali pemilu serentak seperti menggelar dua resepsi pernikahan dalam sehari—membutuhkan lebih banyak biaya logistik, tenaga kerja, hingga saksi di lapangan.
“Kalau pemilu dilakukan dua kali, artinya ibarat mantenan itu ada jam pagi dan jam sore. Maka konsumsinya, penyelenggaranya, saksinya juga harus disiapkan dua kali. Ini menambah biaya,” kata Jazilul.
Sebagai respons, Jazilul mendorong agar revisi Undang-Undang Pemilu segera dilakukan secara menyeluruh untuk mencari solusi atas dampak putusan tersebut. Menurutnya, revisi ini lebih realistis ketimbang menerbitkan regulasi baru seperti omnibus law yang prosesnya jauh lebih kompleks.
“Menurut saya, revisi UU Pemilu harus segera dibahas bersama pemerintah dan fraksi-fraksi DPR. Tidak perlu lewat omnibus law, yang penting komprehensif,” jelasnya.
Putusan MK yang menjadi sorotan ini adalah Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, yang mengatur agar pelaksanaan pemilu nasional dipisahkan dari pemilu lokal dengan jeda waktu minimal dua tahun dan maksimal dua tahun enam bulan setelah pelantikan pejabat hasil pemilu nasional.
Putusan tersebut mengabulkan sebagian permohonan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), yang diwakili oleh Khoirunnisa Nur Agustyati dan Irmalidarti. MK menyatakan bahwa Pasal 167 ayat (3) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 jika tidak dimaknai sebagai pemisahan antara pemilu nasional dan lokal.
Sementara itu, banyak pihak menilai keputusan ini bisa menimbulkan tumpang tindih kebijakan serta menambah biaya penyelenggaraan yang tidak sedikit. Kritik terhadap putusan MK juga datang dari kalangan akademisi, praktisi hukum, dan fraksi partai lainnya yang mempertanyakan konsistensi MK dengan putusan sebelumnya soal pemilu serentak.
Isu ini diperkirakan akan menjadi fokus utama dalam revisi UU Pemilu ke depan serta menjadi agenda penting dalam dinamika politik nasional menjelang Pemilu 2029.