Banda Aceh – Gelombang analisis lingkungan kembali mengemuka setelah Pantau Gambut merilis laporan yang menempatkan sejumlah perusahaan sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas rusaknya Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) dan meningkatnya risiko banjir di berbagai daerah.
Penelitian bertajuk Studi Sebab-Akibat Kerentanan Banjir KHG 2025 itu menyoroti ekspansi perkebunan sawit dan industri kayu yang dianggap menggerus fungsi gambut sebagai penyangga air alami.
Dalam kajiannya, Pantau Gambut mengidentifikasi 243 konsesi Hak Guna Usaha (HGU) sawit yang meningkatkan kerawanan banjir pada KHG di Sumatera, Kalimantan, hingga Papua. Areal sawit yang terus melebar disebut memiliki sejarah panjang dalam membuka dan mengeringkan lahan gambut, sehingga melemahkan kemampuan tanah menyerap air, terutama saat intensitas hujan meningkat.
“PT Global Indo Agung Lestari, PT Jalin Valeo, dan PT Kalimantan Agro Lestari menjadi tiga perusahaan yang memperluas kerentanan banjir di sejumlah KHG,” tulis laporan itu pada Sabtu (6/12/2025).
Pantau Gambut menegaskan bahwa aktivitas operasional perusahaan-perusahaan tersebut mereduksi cadangan air alami di gambut, membuat kawasan rentan tergenang bahkan oleh hujan dengan durasi singkat. Kerusakan ini disebut berlapis, mulai dari perubahan struktur tanah hingga hilangnya vegetasi penahan air.
Di luar sektor sawit, konsesi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) juga menjadi sorotan. Sedikitnya 145 konsesi berada di atas KHG seluas lebih dari tiga juta hektare, tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Aktivitas pemanfaatan hutan untuk bahan baku industri pulp dan kertas dinilai turut mengganggu stabilitas ekosistem gambut.
“Konsesi PBPH dengan area besar berkontribusi pada meningkatnya risiko banjir,” tulis laporan itu, dengan menyoroti tiga perusahaan yang dianggap memperparah kerusakan gambut di KHG Sungai Sugihan–Lumpur: PT Bumi Andalas Permai, PT SBA Wood Industries, dan PT Bumi Mekar Hijau.
Seorang warga yang sebelumnya menggugat perusahaan mengungkapkan kesaksiannya terkait dampak kesehatan dari kebakaran lahan berulang. “Adik dan sepupu saya sering dirawat karena asma. Nenek terpaksa menyediakan obat Symbicort di rumah,” ujarnya, menggambarkan situasi yang terjadi sejak 2015.
Ketiga perusahaan tersebut, yang terafiliasi dengan Sinarmas Group, juga disebut memiliki area rentan banjir terluas. Curah hujan tinggi dinilai dapat dengan cepat memicu luapan air dari KHG Sungai Sugihan–Lumpur, mengancam permukiman dan lahan pertanian warga.
Ironisnya, langkah hukum masyarakat terhambat setelah Pengadilan Negeri Sumatera Selatan memutuskan gugatan niet ontvankelijke, yang membuat proses pencarian keadilan kembali tersendat.
Pantau Gambut menutup laporannya dengan daftar 10 konsesi HGU dan 10 konsesi PBPH yang dinilai paling memperburuk risiko banjir, menjadi penanda bahwa kerusakan ekosistem gambut telah mencapai titik krusial yang menuntut penanganan serius dari pemerintah maupun korporasi.
