Revisi Undang-Undang TNI resmi disahkan DPR pada 20 Maret 2025. Pemerintah menyambutnya dengan narasi “niat baik” dan optimisme sipil-militer. Tapi bagi masyarakat sipil, ini alarm bahaya.
Tiga pasal krusial dalam revisi disorot keras. Pertama, Pasal 7 tentang tugas baru TNI di luar perang. Kedua, Pasal 47 yang memperluas penempatan prajurit aktif di jabatan sipil dari 10 jadi 14 instansi. Ketiga, Pasal 53 yang memperpanjang usia pensiun prajurit.
Semua pasal itu dianggap membuka ruang luas bagi dominasi militer dalam kehidupan sipil.
Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia menyebut, “semua punya niat baik”. Partainya mengklaim aktif dalam penyusunan RUU dan percaya pengawasan cukup.
Tapi masalahnya, Bahlil dan kawan-kawannya punya rekam jejak yang layak dipertanyakan. Mereka kerap memanfaatkan niat baik pihak lain untuk keuntungan pribadi dan politik.
Kepentingan rakyat terlalu sering dijadikan korban. Dijadikan tumbal demi melanggengkan kekuasaan dan kedekatan dengan elite militer.
Sayangnya, pernyataan soal “niat baik” tidak mampu meredam kecurigaan publik.
Justru sebaliknya. Klaim itu hanya memperkuat dugaan bahwa revisi ini disahkan dalam senyap, di tengah penolakan luas masyarakat sipil dan kampus-kampus.
Ketua MPR RI dari Gerindra, Ahmad Muzani, bahkan memastikan Presiden Prabowo akan menandatangani UU tersebut. Meski tidak menjelaskan kapan.Ia membantah revisi ini membuka pintu militerisasi. Tapi faktanya, pasal-pasal yang disahkan justru memperbesar peluangnya.
Wacana dwifungsi ABRI yang dulu kita tolak kini muncul dalam bentuk baru. Diperhalus. Dilegitimasi.
Sejak disahkannya UU TNI, publik makin sulit membedakan batas sipil dan militer. Prajurit aktif bisa duduk di lembaga sipil strategis. Usia pensiun mereka diperpanjang, memperpanjang pula masa pengaruh kekuasaan.
Kritik datang dari koalisi masyarakat sipil, akademisi, dan mantan petinggi militer. Mereka menyebut revisi ini langkah mundur demokrasi.
Sementara itu, parlemen dan pemerintah berlindung di balik prosedur. Dalihnya: sudah dibahas di Panja. Sudah sah di DPR.Tapi pertanyaannya: apakah substansinya sudah menjamin demokrasi?
Kita tidak butuh niat baik jika implementasi buruk.Apakah prajurit aktif nanti akan betul-betul netral saat duduk di posisi sipil? Apakah pengawasan efektif ketika lembaga-lembaga sipil diduduki militer?
Dan bagaimana publik bisa mengawasi jika akses informasi tertutup, dan kritik dibungkam dengan label “anti-nasional”?
Sejarah memberi pelajaran penting. Dwifungsi ABRI pernah mencengkeram sendi-sendi sipil selama Orde Baru.
Dan kita berjuang keras untuk mencabut kuku itu pasca reformasi 1998.Kini, lewat revisi yang disahkan diam-diam, semua bisa kembali. Tapi kali ini dengan pakaian legal.
Demokrasi tak selalu mati dengan kudeta. Ia bisa padam dalam hening, di bawah tumpukan pasal-pasal yang terdengar sah dan niat baik.
Apa yang bisa dilakukan rakyat? Menolak lupa. Mengawasi dengan keras. Mendesak Mahkamah Konstitusi agar menguji ulang pasal-pasal bermasalah.
Koalisi sipil juga harus solid. Revisi UU ini tidak boleh jadi preseden untuk pelemahan sipil berikutnya.
Karena begitu batas sipil dan militer kabur, maka yang akan hancur bukan hanya undang-undang. Tapi ruang demokrasi kita.