Setelah membuat kegaduhan, Bahlil berlagak pahlawan. Menteri ESDM ini kini tampil seolah menyelesaikan masalah yang ia ciptakan sendiri: aturan pembatasan penjualan LPG 3 kg di pengecer. Setelah kebijakan tersebut menimbulkan antrean panjang, kelangkaan, dan keresahan di masyarakat, ia kembali mengizinkan pengecer menjual gas melon. Keputusan ini diumumkan dengan dalih menjaga stabilitas harga dan memastikan distribusi LPG tetap berjalan.
Ironisnya, langkah ini menunjukkan ketidaksiapan pemerintah dalam mengelola subsidi energi. Kebijakan awal yang melarang pengecer berjualan diklaim sebagai cara mengontrol harga dan menyalurkan subsidi lebih tepat sasaran. Nyatanya, yang terjadi justru sebaliknya: LPG semakin langka di beberapa daerah, harga melonjak hingga Rp 25.000 per tabung di pasar gelap, dan masyarakat kecil yang paling terdampak.
Bahlil kini berusaha mengendalikan situasi dengan membatasi harga di tingkat pengecer maksimal Rp 19.000 per tabung, serta mewajibkan pembelian menggunakan KTP. Seakan ini solusi yang solid, padahal masalah utamanya ada pada lemahnya pengawasan dan buruknya sistem distribusi. Pemerintah mengalokasikan subsidi Rp 87,6 triliun untuk LPG 3 kg pada 2025, tetapi tanpa pengelolaan yang ketat, kebocoran tetap akan terjadi, entah di tingkat agen, pangkalan, atau pengecer.
Sistem distribusi LPG di Indonesia selama ini memang tidak sepenuhnya tertata dengan baik. Dari 370.000 warung pengecer yang telah terdaftar di aplikasi Merchant Applications Pertamina (MAP), belum semuanya berstatus sub-pangkalan resmi. Artinya, masih ada jutaan pengecer lain yang beroperasi tanpa regulasi yang jelas, tetapi justru menjadi tumpuan masyarakat kecil yang tidak memiliki akses ke pangkalan Pertamina. Jika distribusi hanya mengandalkan sistem yang belum siap, masyarakat di daerah terpencil akan semakin kesulitan mendapatkan LPG bersubsidi.
Kebijakan ini juga menimbulkan pertanyaan: seberapa efektif pembelian berbasis KTP dalam menekan spekulasi? Jika mekanisme verifikasi di lapangan lemah, aturan ini hanya akan menambah birokrasi tanpa hasil nyata. Belum lagi, tidak semua warga yang membutuhkan LPG bersubsidi memiliki KTP yang terdaftar dalam sistem digital pemerintah. Jika regulasi ini diterapkan secara kaku, maka mereka akan semakin sulit mengakses kebutuhan dasar.
Masalah lain adalah ketimpangan harga antarwilayah. Harga resmi di pangkalan sekitar Rp 16.000 per tabung, tetapi di pengecer bisa lebih tinggi akibat biaya distribusi tambahan. Jika pembatasan harga Rp 19.000 diberlakukan tanpa mekanisme kompensasi bagi pengecer yang berada jauh dari pangkalan, maka yang terjadi bukan stabilisasi harga, melainkan penurunan pasokan. Pengecer di daerah terpencil bisa saja berhenti menjual LPG karena tidak lagi menguntungkan, yang pada akhirnya akan memperparah kelangkaan.
Jika pemerintah benar-benar ingin mengatasi persoalan LPG bersubsidi, solusinya tidak cukup hanya dengan menyesuaikan harga di pengecer atau menerapkan sistem berbasis KTP. Yang lebih dibutuhkan adalah reformasi mendasar dalam distribusi dan pengawasan subsidi. Digitalisasi rantai distribusi harus dilakukan secara menyeluruh, bukan hanya pada pengecer tetapi juga hingga ke tingkat pangkalan dan agen utama.
Selain itu, pengawasan terhadap distribusi di daerah perlu diperketat untuk mencegah penimbunan dan spekulasi harga. Jika ada pengecer atau agen yang terbukti memainkan harga, sanksi harus diberlakukan secara tegas. Pemerintah juga harus membuka jalur pengaduan yang efektif bagi masyarakat untuk melaporkan pelanggaran, bukan sekadar mengandalkan data internal yang sering kali tidak mencerminkan kondisi di lapangan.
Keputusan Bahlil untuk mengaktifkan kembali pengecer dan membatasi harga mungkin bisa meredakan kepanikan sementara. Namun, tanpa pembenahan struktural dalam pengelolaan subsidi, langkah ini hanya akan menjadi solusi setengah hati yang tidak menyelesaikan akar permasalahan. Jika pemerintah terus merespons masalah dengan kebijakan reaktif seperti ini, maka yang akan terus menjadi korban adalah rakyat kecil yang setiap hari bergantung pada LPG bersubsidi untuk kebutuhan dasar mereka.