Jakarta – Ada yang bergerak diam-diam namun terasa guncangannya. Dalam beberapa bulan terakhir, gelombang pemindahan aset oleh kalangan superkaya Indonesia ke luar negeri terus menguat, bahkan disebut sebagai sinyal adanya krisis kepercayaan terhadap arah ekonomi nasional.
Peneliti Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS), Muhammad Anwar, menilai fenomena ini bukan sekadar bagian dari strategi diversifikasi investasi, melainkan bentuk kekhawatiran mendalam terhadap masa depan ekonomi dalam negeri.
Ia menyebut bahwa langkah para elite ini menandakan mulai runtuhnya keyakinan terhadap stabilitas fiskal pemerintahan baru.
“Beberapa konglomerat khawatir dengan rencana-rencana populis pemerintahan yang tidak memiliki landasan fiskal kuat,” ujar Anwar kepada inilah.com, Sabtu (12/4/2025).
Menurutnya, pergeseran aset dalam skala besar oleh orang-orang kaya ini dapat menciptakan tekanan terhadap rupiah, memperlemah sektor keuangan, dan memperparah inflasi.
Dampak akhirnya, masyarakat kecil yang paling rentan menanggung bebannya melalui kenaikan harga barang pokok dan menurunnya daya beli.
Data Bloomberg turut menguatkan kekhawatiran ini. Sejak Februari 2025, nilai pemindahan aset oleh kalangan elit Indonesia ke luar negeri melonjak menjadi US$50 juta (setara Rp841 miliar), naik drastis dari US$10 juta pada akhir 2024. Penyebab utamanya adalah ketidakpercayaan terhadap stabilitas rupiah dan arah kebijakan Presiden Prabowo Subianto.
Anwar menggarisbawahi bahwa fenomena ini bukan hanya krisis ekonomi, tapi juga mencerminkan krisis moral. Ketika masyarakat bawah harus berjibaku dengan mahalnya biaya hidup dan ketidakpastian pekerjaan, mereka yang berkantong tebal justru mencari suaka finansial di luar negeri.
“Ini mencerminkan jurang ketimpangan yang makin dalam. Padahal dalam kondisi krisis, seharusnya kelompok elite menunjukkan solidaritas, bukan menarik diri,” tegasnya.
Di tengah wacana reformasi fiskal dan pajak kekayaan yang sempat digaungkan pemerintahan baru, tindakan pelarian aset ini menjadi ironi tersendiri. Negara yang berharap kontribusi fiskal dari kalangan superkaya justru kehilangan potensi tersebut ke negara lain.
Pengamat lainnya bahkan mendorong pemerintah agar lebih tegas. “Kalau perlu, cabut izin usaha para penghianat ekonomi,” kritik seorang ekonom dalam laporan yang sama.
Fenomena ini menjadi cermin rapuhnya hubungan antara elite ekonomi dan pemerintah. Bila dibiarkan, bisa menjadi pemicu krisis kepercayaan yang lebih luas di masyarakat.
