Close Menu
Onews.idOnews.id
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Daerah
    • Figur
    • Info Haji
    • Rilis Berita
  • Info Haji 2025
  • Politik
  • Ekonomi
  • Saintek
  • Artikel

Subscribe to Updates

Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

What's Hot

Manfaat Sehat Biji Selasih untuk Tubuh dan Kulit

Lepaskan Ketegangan, Raih Kedamaian

Firnadi Ikhsan Serap Aspirasi Tiga Delegasi di Hari Aspirasi PKS Kaltim

Facebook X (Twitter) Instagram WhatsApp
Jumat, 24 Oktober 2025
  • Advertorial
  • Rilis Berita
Facebook X (Twitter) Instagram WhatsApp YouTube
Onews.idOnews.id
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Daerah
    • Figur
    • Info Haji
    • Rilis Berita
  • Info Haji 2025
  • Politik
  • Ekonomi
  • Saintek
  • Artikel
WhatsApp Channel
Onews.idOnews.id

Selat Hormuz dan Ancaman Ekonomi Dunia

Ketika jalur energi dunia terancam ditutup, dampaknya bukan hanya geopolitik, tapi langsung menggedor dapur rakyat.
Udex MundzirUdex Mundzir23 Juni 2025 Editorial
Peta selat hormuz laut merah.
Peta selat hormuz laut merah (.inet)
Share
Facebook Twitter LinkedIn Pinterest WhatsApp Email

Ketegangan di Timur Tengah kini memuncak ke titik paling genting. Iran resmi mengancam menutup Selat Hormuz, jalur maritim strategis yang selama ini menjadi nadi utama perdagangan minyak dan gas dunia. Pernyataan tegas dari Mayor Jenderal Esmaeli Kowsari dan dukungan parlemen Iran terhadap usulan penutupan selat itu menandai eskalasi konflik Iran-Israel dan keterlibatan tidak langsung Amerika Serikat dalam perang ini.

Selat Hormuz bukan sekadar jalur sempit. Setiap hari, lebih dari 17 juta barel minyak mentah dikapalkan melalui jalur ini. Belum lagi sekitar 3.000 kapal LNG (gas alam cair) yang lalu lalang setiap bulannya. Iran, Arab Saudi, UEA, Kuwait, hingga Qatar menggantungkan perdagangan energinya pada selat ini. Maka, penutupannya akan memberi efek domino ke seluruh pasar global.

Harga minyak dunia diprediksi akan melonjak drastis. Bahkan, pengamat menyebut skenario terburuk bisa menyebabkan harga melampaui USD 150 per barel—angka yang belum pernah tercapai sejak krisis energi global 2008. Ketergantungan ekonomi dunia terhadap energi fosil menjadikan setiap gangguan di Selat Hormuz sebagai pemicu resesi global.

Dampak ke Indonesia sangat nyata. Pertamina sendiri sudah mengeluarkan pernyataan bahwa distribusi minyak mentah nasional akan sangat terdampak. Indonesia yang masih mengimpor lebih dari 800.000 barel minyak mentah per hari, sebagian dari wilayah Timur Tengah, akan mengalami lonjakan biaya produksi BBM. Hal ini akan mendorong kenaikan harga BBM dalam negeri, yang selanjutnya menekan harga-harga barang kebutuhan pokok.

Menurut catatan BPS, kontribusi energi terhadap inflasi nasional mencapai 15%. Jika harga minyak mentah melonjak akibat krisis Selat Hormuz, maka inflasi Indonesia bisa menembus 6-7% pada kuartal ketiga 2025. Ini mengulang luka lama: daya beli rakyat menurun, kemiskinan meningkat, dan stabilitas sosial terancam. Pemerintah akan kembali menghadapi dilema antara menaikkan subsidi energi atau menambah utang fiskal.

Di sisi lain, ketegangan ini menyoroti ketergantungan ekonomi global terhadap sistem yang rapuh. Hanya satu titik sempit di peta dunia, tapi bisa mengunci pasokan energi untuk separuh planet. Ini mencerminkan kegagalan kolektif dalam diversifikasi energi dan diplomasi internasional. Dunia terlalu lambat dalam beralih dari energi fosil ke energi terbarukan.

Secara politik, ancaman Iran adalah bentuk balasan terhadap agresi militer AS dan Israel, termasuk serangan terhadap fasilitas nuklir Iran baru-baru ini. Namun, pendekatan militer dalam menyelesaikan konflik justru membahayakan stabilitas regional dan memperpanjang penderitaan sipil. Respons global pun terpecah. AS menggandeng sekutunya, sementara China dan Rusia menyuarakan dukungan implisit kepada Iran. Ketegangan ini menciptakan polarisasi baru di antara kekuatan dunia.

Dalam kondisi seperti ini, diplomasi multilateral harus menjadi jalan utama. Dewan Keamanan PBB, meskipun sering mandul dalam isu-isu besar, harus segera memanggil sesi darurat untuk mencegah penutupan Selat Hormuz. Negara-negara pengimpor energi seperti Jepang, India, dan negara ASEAN—termasuk Indonesia—harus bersuara lebih keras untuk mendesak deeskalasi.

Pemerintah Indonesia sendiri harus lebih taktis. Kita tak boleh hanya jadi korban pasif konflik geopolitik. Diplomasi energi perlu diperkuat dengan menjalin kerja sama bilateral di luar kawasan Teluk, seperti Afrika Barat dan Amerika Latin. Diversifikasi mitra energi menjadi keharusan.

Selain itu, ini adalah waktu yang tepat untuk mempercepat transisi energi domestik. Indonesia memiliki potensi besar dalam energi surya, angin, panas bumi, dan hidro. Namun, realisasinya masih tertinggal. Pemerintah harus mempercepat implementasi proyek energi terbarukan dan memberikan insentif nyata bagi sektor swasta untuk berinvestasi dalam transisi hijau.

Langkah darurat lainnya adalah memperkuat cadangan strategis energi nasional. Pemerintah perlu menambah kapasitas penyimpanan minyak mentah dan LNG dalam negeri. Cadangan ini akan menjadi tameng sementara jika krisis global berkepanjangan.

Sementara itu, sektor transportasi dan industri perlu didorong untuk mengadopsi efisiensi energi. Program konversi kendaraan ke listrik harus dipercepat, dan insentif untuk industri hemat energi harus ditingkatkan. Setiap liter BBM yang dihemat hari ini akan mengurangi beban fiskal di masa krisis.

Rakyat juga harus disiapkan untuk menghadapi potensi lonjakan harga. Edukasi publik tentang penghematan energi, program subsidi terarah untuk masyarakat miskin, dan penguatan program ketahanan pangan harus dijalankan secara paralel. Pemerintah tidak bisa hanya menunggu gejolak pasar.

Jika penutupan Selat Hormuz benar-benar terjadi, itu bukan hanya tantangan logistik. Itu ujian besar atas ketahanan ekonomi nasional, ketangguhan sosial, dan kecerdasan politik pemerintah. Indonesia harus bertindak cepat—melalui diplomasi, transisi energi, dan perlindungan sosial—agar tidak jadi korban pasif dari permainan kekuatan besar dunia.

Dampak Ekonomi Geopolitik Timur Tengah Krisis Energi Global Selat Hormuz Transisi Energi
Share. Facebook Pinterest LinkedIn WhatsApp Telegram Email
Previous ArticleMengemudi Visi, Bukan Hanya Mobil Listrik
Next Article Trump Berlagak Pahlawan Tapi Kesiangan

Informasi lainnya

Waspadai, Purbaya Anak Buah Luhut

9 September 2025

Bersih-Bersih Kabinet Prabowo Dimulai

9 September 2025

Orde Baru Jauh Lebih Baik

8 September 2025

Jokowi, Mengapa Masih Ikut Campur?

4 September 2025

Mengakhiri Bayang Jokowi

4 September 2025

Selamat Tinggal Agustus Kelabu: Tinggalkan Joget-joget di Istana

1 September 2025
Paling Sering Dibaca

Belajar dari Kegagalan, Tips Bangkit dari Kekalahan dengan Penuh Semangat

Opini Alfi Salamah

5 Tips Efektif Mengatur Waktu Selama Ramadhan

Islami Alfi Salamah

Makin Canggih, Ini Alasan Warga Indonesia Pilih HP dengan Fitur AI

Techno Assyifa

Cara Efektif Menghitung Dana Pensiun di Indonesia

Daily Tips Assyifa

Generasi Z dan Aksi Nyata Wujudkan SDGs

Daily Tips Ericka
Berita Lainnya
Kesehatan
Alfi Salamah23 Oktober 2025

Manfaat Sehat Biji Selasih untuk Tubuh dan Kulit

Firnadi Ikhsan Serap Aspirasi Tiga Delegasi di Hari Aspirasi PKS Kaltim

Kasus Radiasi Cikande Masuk Tahap Penyidikan, PT PMT Dianggap Lalai

Trump Resmikan Fase Dua Kesepakatan Gencatan Gaza

Menkeu Purbaya Pertimbangkan Pemangkasan PPN Tahun 2026

  • Facebook 920K
  • Twitter
  • Instagram
  • YouTube
“Landing
© 2021 - 2025 Onews.id by Dexpert, Inc.
PT Opsi Nota Ideal
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kode Etik
  • Kontak

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.