Tasikmalaya – Selembar peta besar terbentang di meja. Puluhan peserta menyimak, mencatat, dan sesekali bertanya. Di hadapan mereka, para ahli memaparkan kerangka besar yang sedang digagas: menjadikan Geopark Galunggung bukan hanya milik Tasikmalaya, tapi juga bagian dari warisan geologi dunia di bawah naungan UNESCO Global Geoparks Network.
Langkah penting menuju cita-cita itu dimulai Kamis (4/7/2024), lewat kegiatan deliniasi dan inventarisasi warisan geologi di kawasan Galunggung. Proses ini melibatkan akademisi dari Universitas Siliwangi, Universitas Padjadjaran, dan Institut Teknologi Bandung, didukung penuh oleh pemerintah daerah serta komunitas lokal.
“Geopark Galunggung bukan hanya tentang pelestarian lanskap. Ini soal membuka masa depan baru, lewat pariwisata edukatif dan berbasis budaya,” ujar Ruli dari Universitas Siliwangi saat membuka kegiatan di ruang kuliah kampus.
Suasana ruang dipenuhi semangat kolaborasi. Hadir mahasiswa, dosen, tokoh masyarakat, dan pegiat lingkungan. Semua duduk sejajar, menyimak pemaparan tentang pentingnya memahami batu, tanah, dan sejarah letusan yang selama ini dianggap biasa.
Gunung Galunggung bukan nama asing dalam sejarah geologi Indonesia. Letusannya tahun 1982 menjadi perhatian internasional. Tapi warisan itu tak berhenti di bencana. Kawasan ini menyimpan kekayaan yang luar biasa—yang kini tengah disusun, didata, dan dinarasikan ulang agar bisa diterima sebagai situs geopark nasional.
Salah satu situs utama adalah Danau Kawah Galunggung, yang terbentuk setelah letusan. Danau ini tidak hanya menawarkan keindahan visual, tapi juga menjadi sumber penting bagi penelitian ilmiah tentang proses vulkanik. Di sekitarnya terbentang bentang alam vulkanik yang mencakup aliran lava beku, lapisan piroklastik, dan struktur geologi langka. Keunikan tersebut menjadikan kawasan ini sebagai laboratorium geologi alam terbuka yang sulit ditemukan di tempat lain.
Tak jauh dari situ, muncul mata air panas—bukti nyata adanya aktivitas geotermal di bawah permukaan bumi. Fenomena ini menjadi nilai tambah kawasan Galunggung yang bisa dikembangkan sebagai obyek wisata sekaligus edukasi publik.
Namun, upaya ini bukan hanya soal mengangkat potensi alam. Salah satu aspek terpenting dari pendekatan geopark adalah pelibatan masyarakat. Rina, peneliti dari Universitas Padjadjaran, menegaskan bahwa geopark tak akan hidup tanpa keterlibatan aktif warga lokal.
“Pelestarian geopark tidak bisa hanya dari kalangan akademik atau pemerintah. Warga adalah penjaga sejati warisan ini. Kami akan memberikan pelatihan agar mereka bisa menjadi pemandu wisata geologi yang paham dan percaya diri,” ujarnya.
Hal ini mendapat sambutan positif dari para peserta. Beberapa di antaranya berasal dari desa-desa di sekitar Galunggung, yang selama ini hidup berdampingan dengan alam tanpa pernah benar-benar tahu bahwa tanah yang mereka injak menyimpan nilai global.
Diskusi berlangsung interaktif. Mulai dari metode dokumentasi geodiversitas, cara memetakan struktur tanah, hingga strategi penyusunan dokumen pengajuan ke Komite Nasional Geopark Indonesia. Semua dipaparkan secara terbuka dan disambut dengan antusias.
Setelah seluruh proses deliniasi dan inventarisasi selesai, hasilnya akan digunakan untuk menyusun dokumen resmi pengusulan Geopark Galunggung sebagai Geopark Nasional. Bila disetujui, langkah selanjutnya adalah mengajukan kawasan ini ke UNESCO sebagai bagian dari jejaring Global Geoparks Network.
Pengakuan tersebut bukan sekadar prestise. Ia membuka jalan bagi pengembangan riset, peningkatan kunjungan wisata, dan penciptaan lapangan kerja berbasis lingkungan. Galunggung bisa menjadi pusat pembelajaran terbuka—di mana alam, ilmu, dan manusia saling melengkapi.
Namun tantangannya tak sedikit. Perlu edukasi terus-menerus, kolaborasi lintas sektor, dan komitmen menjaga kawasan dari eksploitasi berlebih. Status geopark mengharuskan pelestarian yang seimbang dengan pemanfaatan.
Bagi Tasikmalaya, ini adalah kesempatan langka. Dari gunung yang pernah dikenal karena letusannya, Galunggung kini melangkah menuju status baru: sebagai naskah purba yang sedang ditulis ulang, dan dijaga bersama demi masa depan yang lebih bijak terhadap bumi.