Pekanbaru – Seperti deja vu yang tak kunjung usai, Provinsi Riau kembali diguncang kabar penangkapan kepala daerah. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Abdul Wahid, Gubernur Riau yang baru sembilan bulan menjabat, dalam operasi tangkap tangan (OTT). Wahid kini diperiksa bersama sembilan orang lainnya di Gedung Merah Putih KPK.
Jika terbukti bersalah, Abdul Wahid akan menjadi Gubernur Riau keempat yang terjerat lembaga antirasuah. Penangkapan ini melengkapi “rekor quattrick” KPK di bumi Lancang Kuning sebuah catatan kelam yang menampar wajah pemerintahan daerah.
Tiga gubernur sebelumnya yang lebih dulu dijerat korupsi adalah Saleh Djasit, Rusli Zainal, dan Annas Maamun.
Saleh Djasit, Gubernur periode 1998–2003, divonis empat tahun penjara atas korupsi pengadaan 16 unit mobil pemadam kebakaran senilai Rp15,2 miliar. Ia menjadi Gubernur Riau pertama yang ditangkap KPK.
Sementara Rusli Zainal, yang memimpin dua periode (2003–2013), tersangkut dua kasus besar: suap pembangunan venue PON XVIII Riau 2012 dan penyalahgunaan izin kehutanan (IUPHHK-HT). Awalnya divonis 14 tahun, hukumannya dikurangi menjadi 10 tahun setelah Peninjauan Kembali.
Berikutnya, Annas Maamun (2014–2019) juga tersandung dua kasus korupsi. Ia menerima suap dari pengusaha sawit untuk mengubah status kawasan hutan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Riau. Meski sempat menerima grasi dari Presiden pada 2020, Annas kembali ditangkap KPK dalam kasus gratifikasi RAPBD.
Pengamat Kebijakan Publik Riau, M. Rawa El Amady, menilai bahwa pola korupsi di kalangan elite Riau menunjukkan kegagalan moral dan pengawasan kekuasaan. “Kita menilai kalau mereka sudah menjabat, mereka merasa berkuasa penuh. Seolah jabatan itu kerajaan, bisa berbuat semaunya,” ujar Rawa, akademisi Universitas Indonesia, Selasa (4/11/2025).
Ia menambahkan, kasus-kasus ini mencoreng martabat Riau di mata nasional. “Ini tentunya membuat malu kembali marwah Riau. Kalau ini terbukti, sudah empat gubernur kita terjerat korupsi di KPK,” kata Rawa yang juga dosen di salah satu perguruan tinggi di Riau.
Fenomena berulang ini menjadi sinyal bahwa sistem pencegahan korupsi di daerah masih rapuh. Meski sumber daya alam Riau melimpah, integritas pemimpinnya tampak terus diuji oleh godaan kekuasaan.
Publik kini berharap KPK tidak hanya menindak, tetapi juga memperkuat sistem integritas di daerah agar “quattrick” ini menjadi yang terakhir dalam sejarah politik Riau.
