Jakarta – Seperti sebuah pintu hukum yang dibuka dengan kunci baru, revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) akhirnya disahkan DPR RI pada Selasa (18/11/2025). Langkah ini langsung memantik perdebatan publik, terutama karena sejumlah pasal krusial dinilai berpotensi menjadi ruang abu-abu dalam praktik penegakan hukum. DPR menegaskan bahwa aturan baru justru memperketat mekanisme penyidikan, bukan memberikan keleluasaan tanpa batas.
Pada pengesahan tersebut, DPR menyebut KUHAP baru dirancang untuk memperjelas batas kewenangan penyidik, mulai dari penyitaan yang kini wajib mengantongi izin pengadilan, penyadapan yang menunggu regulasi khusus, hingga prosedur penangkapan dan penahanan dengan tenggat waktu ketat. Pemberlakuan regulasi ini akan dimulai pada 2 Januari 2026, memberi waktu kepada aparat penegak hukum untuk menyesuaikan SOP internal mereka.
“Kami pastikan aturan-aturan ini tidak memberikan ruang kesewenang-wenangan. Justru semuanya dibingkai dengan mekanisme izin dan pengawasan lembaga peradilan,” ujar seorang anggota komisi hukum DPR dalam keterangannya, menegaskan bahwa kritik publik akan dijawab melalui implementasi yang akuntabel.
Pernyataan tersebut merespons kekhawatiran masyarakat mengenai Pasal 44 yang mensyaratkan penyitaan hanya dapat dilakukan setelah penyidik menunjukkan identitas dan surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri. Ketentuan ini dianggap menjadi rem penting untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan, sekaligus memastikan pemilik barang mengetahui legitimasi tindakan penyitaan.
Aturan lain yang menjadi perhatian adalah Pasal 136 mengenai penyadapan. Meski penyadapan diperbolehkan sebagai bagian dari penyidikan, pelaksanaannya menunggu undang-undang khusus agar aktivitas tersebut memiliki pedoman baku dan tidak menabrak hak privasi warga. Pada saat bersamaan, pasal-pasal pemeriksaan surat seperti Pasal 137 hingga 139 memberikan koridor ketat, termasuk kewajiban merahasiakan isi surat jika terbukti tidak relevan dengan perkara.
Dalam hal penetapan tersangka, Pasal 90 menegaskan perlunya minimal dua alat bukti, disertai surat pemberitahuan resmi kepada tersangka dalam waktu satu hari. Ketentuan baru ini diharapkan menutup peluang penetapan tersangka secara serampangan dan memastikan asas praduga tak bersalah dihormati.
Mekanisme penangkapan dan penahanan menjadi bagian paling panjang dalam KUHAP baru. Penangkapan dibatasi maksimal 1×24 jam, sementara penahanan memiliki batas bertingkat tergantung tahap pemeriksaan: 20 hari di penyidikan, 20 hari di penuntutan, dan 30 hari di persidangan, masing-masing dapat diperpanjang dengan persetujuan pengadilan. Regulasi ini dipandang sebagai upaya menghapus praktik penahanan berlarut-larut yang selama ini dikeluhkan masyarakat.
Dengan kompleksitas aturan baru tersebut, masa transisi akan menjadi ujian penting bagi aparat penegak hukum untuk menerapkan standar baru secara konsisten. DPR berharap revisi ini menjadi tonggak pembaruan sistem peradilan pidana yang lebih transparan dan akuntabel.
