Jakarta – Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) kembali membuka ruang diskusi mengenai sistem presidensial yang selama ini menjadi landasan pemerintahan Indonesia. Wacana ini mencuat dalam Peringatan Hari Konstitusi dan Hari Ulang Tahun ke-80 MPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (18/8/2025), yang dihadiri sejumlah tokoh lembaga tinggi negara.
Ketua MPR RI, Ahmad Muzani, menekankan bahwa sudah saatnya dilakukan evaluasi terhadap efektivitas sistem presidensial di Indonesia. Ia menyoroti potensi tumpang tindih kewenangan antar lembaga negara, serta adanya kekosongan maupun penumpukan kekuasaan yang dapat menghambat jalannya pemerintahan.
“Melihat bagaimana konstitusi kita diterapkan, maka MPR perlu mengkaji secara cermat, misalnya bagaimana sistem presidensil yang sekarang ini menjadi pilihan kita sudah efektif, atau tumpang tindih kewenangan antar lembaga negara yang menyebabkan kekosongan atau justru penumpukan kekuasaan,” kata Muzani dalam pidatonya.
Muzani menegaskan MPR memiliki peran strategis sebagai pengawal Undang-Undang Dasar 1945. Menurutnya, setiap produk hukum, mulai dari undang-undang hingga peraturan daerah, harus sesuai dengan konstitusi. Kajian mendalam diperlukan agar kebijakan yang dihasilkan tidak bertentangan dengan semangat dasar hukum negara.
Ia juga menyinggung kemungkinan perubahan UUD 1945, mengingat MPR memiliki kewenangan untuk melakukan amandemen. Namun, Muzani menekankan bahwa kewenangan itu tidak boleh dijalankan secara gegabah.
“Ibarat seorang arsitek, MPR memegang tanggung jawab penuh untuk memastikan bahwa rumah kebangsaan kita tetap kokoh dan relevan. Namun kewenangan ini harus digunakan dengan sangat hati-hati dan bijaksana,” ujarnya.
Pernyataan Muzani ini memicu spekulasi adanya sinyal politik untuk membuka wacana amandemen konstitusi. Sebelumnya, sejumlah pihak juga mendorong agar sistem presidensial dievaluasi, khususnya dalam hal pembagian kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Sejumlah pengamat menilai kajian ulang sistem presidensial dapat membawa konsekuensi besar. Di satu sisi, wacana ini bisa memperbaiki sistem ketatanegaraan agar lebih efektif. Namun, di sisi lain, hal ini juga menimbulkan kekhawatiran akan adanya kepentingan politik jangka pendek yang berusaha memanfaatkan momentum perubahan konstitusi.
Pihak MPR sendiri belum menyebutkan langkah teknis maupun agenda resmi terkait rencana kajian tersebut. Namun, wacana ini diperkirakan akan menjadi salah satu isu utama dalam dinamika politik nasional ke depan, terutama jika mengarah pada pembahasan amandemen UUD 1945.
Dengan semakin kuatnya sinyal politik untuk membuka kembali diskursus sistem presidensial, arah pembahasan di MPR akan menjadi perhatian publik. Semua pihak menunggu apakah wacana ini sekadar evaluasi akademis atau akan berlanjut ke agenda perubahan konstitusi yang lebih konkret.