Jakarta – Kebijakan internal UD Sentosa Seal yang memotong gaji karyawan karena mengikuti ibadah Salat Jumat, menuai kecaman luas. DPR RI melalui Komisi IX langsung mendesak pemerintah bertindak tegas. Praktik yang dinilai menyalahi hak dasar pekerja itu dianggap tak manusiawi dan bertentangan dengan prinsip keberagaman.
Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi NasDem, Irma Suryani Chaniago, mengatakan pemotongan gaji atas dasar ibadah adalah pelanggaran yang harus dihentikan. Bahkan, jika perlu, ia mendesak agar perusahaan mengembalikan seluruh potongan gaji tersebut kepada karyawan.
“Tindakan itu tak hanya melanggar norma kerja, tapi juga menyakiti hak pekerja sebagai umat beragama,” tegas Irma saat dihubungi, Sabtu (19/4/2025).
Menurut Irma, praktik semacam ini harus menjadi perhatian serius pemerintah, terutama Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Ia meminta agar sanksi dijatuhkan jika terbukti ada pelanggaran regulasi ketenagakerjaan.
Kasus ini mencuat setelah laporan karyawan UD Sentosa Seal menyebar di media sosial. Mereka mengeluhkan pemotongan upah setiap kali menunaikan Salat Jumat.
Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai buruh harian lepas yang mengandalkan upah harian untuk kebutuhan pokok.
“Pemotongan itu sangat merugikan. Kami merasa seperti dihukum karena menunaikan kewajiban agama,” ujar salah satu pekerja yang enggan disebut namanya.
Tak hanya soal pemotongan gaji, Irma juga menyoroti isu lain yang mencuat: penahanan ijazah oleh pihak perusahaan. Ia menyebut praktik tersebut aneh dan tak dibenarkan dalam proses perekrutan kerja.
“Ijazah asli itu milik pribadi. Seharusnya cukup yang dilegalisir. Perusahaan tak berhak menahan dokumen pribadi karyawan,” tegas Irma.
Ia menilai penahanan ijazah bisa membuka ruang intimidasi. Banyak pekerja jadi enggan keluar karena dokumen pentingnya disandera perusahaan.
Langkah Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer, alias Noel, yang melakukan inspeksi mendadak ke UD Sentosa Seal mendapat apresiasi. Di tengah efisiensi anggaran, Noel tetap turun langsung memeriksa kondisi di lapangan.
“Pak Wamen sudah bertindak cepat. Ini patut diapresiasi. Biarpun anggaran minim, beliau tetap hadir di tengah keresahan buruh,” kata Irma.
Kebijakan pemotongan gaji karena Salat Jumat menjadi ironi di negeri yang menjunjung kebebasan beragama. Negara yang dikenal plural ini seharusnya melindungi ruang ibadah, bukan mengkomersialkannya dengan potongan upah.
Praktik seperti ini bukan kali pertama terjadi. Dalam beberapa kasus sebelumnya, karyawan perempuan juga pernah dipaksa memilih antara pekerjaan atau cuti haid dan melahirkan. Padahal, undang-undang ketenagakerjaan sudah jelas melindungi hak-hak tersebut.
“Ini momentum evaluasi menyeluruh terhadap pengawasan tenaga kerja di sektor-sektor informal dan manufaktur,” ujar aktivis buruh, Vivi Rachmawati.
Ia menilai perlu audit komprehensif pada perusahaan-perusahaan yang menahan ijazah atau memotong gaji karena alasan non-produktif. Menurutnya, ketegasan hukum akan memberikan efek jera bagi pelaku pelanggaran.
Pemerintah pun diminta tidak hanya menegur, tapi mengeluarkan sanksi administratif maupun pidana jika diperlukan. Karena jika terus dibiarkan, praktik ini akan jadi preseden buruk bagi dunia kerja.
“Ini soal martabat manusia, bukan sekadar upah. Jika agama dijadikan alasan untuk menghukum buruh, di mana letak keadilan sosialnya?” tutup Vivi.
Kini, publik menanti tindakan konkret dari Kemnaker dan Otoritas Pengawasan Ketenagakerjaan. Apakah mereka akan membela buruh yang terpinggirkan oleh kebijakan sepihak, atau justru kembali diam dalam pusaran regulasi yang longgar?