Jakarta – Saat nilai tukar rupiah terus merosot terhadap dolar AS, sorotan tajam pun diarahkan kepada Bank Indonesia (BI). Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, menyatakan bahwa depresiasi yang terjadi bukan sekadar gejala pasar, melainkan cerminan gagalnya fungsi BI dalam menjaga stabilitas moneter.
“Kurs rupiah ini sudah sejak lama terus terdepresiasi. Ini seharusnya tugas pokok dari BI. Tapi kelihatannya BI gagal menjalankan tugas itu,” ujar Anthony saat dihubungi di Jakarta, Senin (24/3/2025).
Menurutnya, lemahnya pengendalian nilai tukar berkaitan erat dengan ketidakefektifan kebijakan moneter, termasuk suku bunga. Ia juga menyoroti kepemimpinan Gubernur BI Perry Warjiyo yang dinilai tidak mampu memberikan dampak signifikan terhadap kestabilan kurs sejak menjabat pada 2018.
“Harus dipertanyakan mengapa mempertahankan Perry Warjiyo, sama halnya dengan Sri Mulyani. Ekonomi tidak baik-baik saja,” tegasnya.
Anthony menambahkan, meskipun ada kebijakan kontroversial yang berpotensi menyebabkan capital outflow, BI seharusnya mampu mengendalikan dampaknya dengan instrumen moneter yang dimiliki.
Sementara itu, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF, Andry Satrio Nugroho, menyatakan bahwa potensi pelemahan rupiah hingga menyentuh Rp17.000 per dolar AS sangat mungkin terjadi dalam waktu dekat jika pemerintah tidak segera mengambil kebijakan pemulihan kepercayaan pasar.
“Kalau tidak ada kebijakan yang mampu memulihkan kepercayaan pasar terhadap rupiah dan para pengelola ekonomi nasional, angka Rp17.000 itu bukan tidak mungkin,” ujarnya.
Andry juga menyoroti penurunan indeks harga saham gabungan (IHSG) yang menjadi sinyal investor asing mulai meninggalkan pasar Indonesia, menandakan kepercayaan terhadap kondisi ekonomi domestik semakin menipis.
Ia pun mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera berkoordinasi dengan jajaran ekonom dan menteri terkait guna merespons gejolak pasar sebelum pelemahan rupiah berlanjut lebih dalam.