Jakarta – Bareskrim Polri resmi meningkatkan status kasus beras oplosan dari penyelidikan menjadi penyidikan, setelah menemukan dugaan kuat keterlibatan 67 perusahaan dalam praktik curang distribusi beras nasional. Dari total 212 merek yang diselidiki, sekitar 52 perusahaan produsen beras premium dan 15 produsen beras medium disebut terlibat dalam pengoplosan.
Dirtipideksus Bareskrim Polri Brigjen Helfi Assegaf mengungkapkan bahwa penyidikan dilakukan berdasarkan laporan awal dari Kementerian Pertanian dan hasil uji laboratorium pada lima merek beras yang sudah dikonfirmasi tidak sesuai standar mutu.
“Penyidik mendapatkan fakta bahwa modus operandi yang dilakukan oleh para pelaku usaha yaitu melakukan produksi beras premium dengan merek yang tidak sesuai standar mutu yang terpampang pada kemasan. Proses produksinya menggunakan mesin modern maupun manual,” jelas Helfi saat konferensi pers di Jakarta, Kamis (24/7/2025).
Praktik ini terkuak setelah Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman melaporkan hasil investigasi terhadap 268 merek beras kepada Kapolri dan Jaksa Agung. Investigasi itu menunjukkan bahwa 85,56 persen beras premium tidak sesuai mutu, 59,78 persen dijual di atas harga eceran tertinggi (HET), dan 21 persen tidak sesuai berat kemasan.
“Ini sangat merugikan masyarakat,” ujar Amran dalam keterangannya, Jumat (27/6/2025).
Empat produsen besar telah diperiksa lebih lanjut, yakni Wilmar Group (produk Sania, Sovia, Fortune), PT Food Station Tjipinang Jaya (produk Alfamidi Setra Pulen, Ramos Premium, Setra Pulen), PT Belitang Panen Raya (produk Raja Platinum, Raja Ultima), dan PT Sentosa Utama Lestari (produk Ayana dari Japfa Group).
Sampel-sampel beras yang diperiksa diambil dari berbagai daerah termasuk Aceh, Lampung, Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Jabodetabek.
Penyidikan kini terus dikembangkan, dan Kejaksaan Agung turut dilibatkan untuk memanggil dan memeriksa enam produsen lainnya. Penegakan hukum terhadap kasus ini diharapkan dapat memberikan efek jera terhadap pelaku sekaligus melindungi konsumen dari praktik dagang yang merugikan.
Kasus beras oplosan ini menjadi sorotan publik setelah Presiden Prabowo menyampaikan kemarahannya atas praktik manipulasi distribusi pangan, yang dianggap tidak manusiawi dan bertentangan dengan semangat keadilan sosial.