Jakarta – Eks Presiden Joko Widodo (Jokowi) angkat bicara terkait kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025. Ia menegaskan, keputusan tersebut merupakan amanat Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disahkan pada masa pemerintahannya.
“Kenaikan PPN ini sudah diputuskan oleh DPR bersama pemerintah saat itu. Pemerintah saat ini hanya menjalankan amanat UU,” ujar Jokowi, Sabtu (28/12/2024).
Jokowi menambahkan, keputusan menaikkan tarif PPN telah melalui pertimbangan yang matang dan penghitungan dampak kepada masyarakat. Menurutnya, pemerintah saat itu memastikan kebijakan ini untuk mendukung stabilitas fiskal negara.
Namun, kebijakan ini menuai kritik luas dari masyarakat yang merasa kebijakan tersebut memberatkan, terutama bagi kalangan menengah ke bawah. Petisi daring berjudul “Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!” telah mengumpulkan hampir 200.000 tanda tangan hingga Sabtu (28/12/2024).
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai bahwa kebijakan ini kurang tepat diterapkan di tengah daya beli masyarakat yang belum pulih. “Masih banyak opsi seperti optimalisasi pajak tambang atau wealth tax yang bisa memberikan solusi pendanaan tanpa memberatkan rakyat,” jelasnya.
Pemerintah, melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani, sebelumnya menyatakan bahwa kenaikan PPN diperlukan untuk meningkatkan pendapatan negara dalam menghadapi kebutuhan anggaran yang besar.
Protes terhadap kebijakan ini menjadi tantangan besar bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yang baru menjabat selama dua bulan. Meski demikian, Prabowo meminta masyarakat bersabar dan memberikan kesempatan bagi pemerintah untuk bekerja secara optimal.
Dengan situasi ini, polemik kenaikan PPN 12 persen tidak hanya menjadi ujian ekonomi tetapi juga politik bagi pemerintah baru.