Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah menelusuri siapa pihak yang menyusun Surat Keputusan (SK) Menteri Agama Nomor 130 Tahun 2024 tentang Kuota Haji Tambahan Tahun 1445 Hijriah/2024 Masehi. SK tersebut diduga menyebabkan potensi kerugian negara sebesar Rp1 triliun karena pembagiannya melanggar ketentuan undang-undang.
Pelaksana Tugas Deputi Bidang Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan bahwa penyidikan mencakup asal-usul rancangan SK tersebut. “Pada umumnya, pada jabatan setingkat menteri, yang bersangkutan apakah memang merancang SK itu sendiri atau SK itu sudah jadi,” ujarnya di Jakarta, Rabu (6/8/2025).
Asep mengatakan, KPK mendalami apakah SK itu merupakan usulan dari pejabat bawahan atau pihak asosiasi penyelenggara perjalanan ibadah haji. SK ini menjadi salah satu barang bukti penting dalam perkara dugaan korupsi kuota haji.
Dalam SK yang ditandatangani oleh Menteri Agama saat itu, Yaqut Cholil Qoumas, pada 15 Januari 2024, sebanyak 20.000 kuota haji tambahan dari Pemerintah Arab Saudi dibagi rata, 50 persen untuk haji khusus dan 50 persen untuk haji reguler. Pembagian ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 Pasal 64, yang mengatur porsi kuota haji khusus maksimal 8 persen dan haji reguler 92 persen.
Rincian pembagian menunjukkan kuota haji khusus sebanyak 10.000 orang, terdiri atas 9.222 jemaah dan 778 petugas, sementara kuota haji reguler dibagikan ke 34 provinsi. Jawa Timur mendapat jatah terbanyak (2.118 orang), disusul Jawa Tengah (1.682 orang) dan Jawa Barat (1.478 orang).
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, menduga SK tersebut disusun secara terburu-buru oleh empat orang di lingkungan Kementerian Agama. “AR (Gus AD), saat itu staf khusus Menteri Agama; FL, pejabat eselon I; NS, pejabat eselon II; dan HD, pegawai setingkat eselon IV,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (11/8/2025).
Sejak Senin (11/8/2025), KPK telah mengeluarkan pencegahan bepergian ke luar negeri bagi Yaqut Cholil Qoumas untuk mendukung kelancaran penyidikan.
Kasus ini menjadi sorotan publik karena menyangkut penyelenggaraan ibadah haji yang bersentuhan langsung dengan kepentingan jemaah, serta potensi kerugian negara yang besar akibat pelanggaran aturan kuota.
