Jakarta – Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md mengkritisi rencana pemerintah memberikan pengampunan bagi koruptor yang bersedia mengembalikan hasil korupsinya. Menurut Mahfud, kebijakan ini berisiko menciptakan pelaku korupsi baru.
“Kalau saya sih membayangkannya nanti akan banyak orang korupsi diam-diam. Setelah akan ketahuan, baru mengaku,” ujar Mahfud saat ditemui di kawasan Jakarta Pusat, Kamis (26/12/2024).
Mahfud menegaskan, meskipun tujuan Presiden Prabowo Subianto adalah untuk menyelamatkan aset negara melalui mekanisme asset recovery, prosesnya tidak boleh dilakukan secara tertutup. Transparansi, menurut Mahfud, adalah kunci agar kebijakan ini tidak melanggar prinsip keadilan publik.
“Pak Prabowo sebenarnya ingin agar aset negara tidak hilang. Ini sesuai dengan konvensi PBB tentang asset recovery. Tetapi, prosesnya jangan diam-diam,” tegas Mahfud.
Ia juga menyarankan agar pengembalian aset dilakukan melalui pengadilan, bukan melalui pendekatan damai yang tertutup.
“Nah kalau tidak diumumkan, tidak transparan, tidak ada yang tahu bahwa itu melanggar atau tidak. Tapi kalau diumumkan, ya lewat pengadilan saja,” imbuhnya.
Mahfud mencontohkan, kebijakan pengampunan koruptor yang transparan pernah dilakukan oleh beberapa negara di Afrika, di mana nama-nama yang bersangkutan diumumkan ke publik. Dengan begitu, masyarakat dapat ikut memantau prosesnya.
Pengamat hukum menilai usulan Mahfud ini relevan untuk menjaga integritas sistem hukum di Indonesia.
“Transparansi menjadi penting untuk mencegah kebijakan ini dimanfaatkan oleh oknum tertentu,” kata Didi Kusuma, pakar hukum dari Universitas Indonesia.
Meski begitu, rencana pengampunan ini tetap menuai pro dan kontra. Sebagian pihak mendukung langkah Presiden Prabowo sebagai solusi praktis untuk menyelamatkan aset negara, sementara yang lain khawatir kebijakan ini dapat memperburuk budaya korupsi di Indonesia.
.