Jakarta – Seperti mengetuk pintu era baru, DPR RI resmi mengesahkan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna ke-8 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2025-2026. Keputusan yang dipimpin langsung oleh Ketua DPR RI Puan Maharani ini menjadi langkah penting setelah 44 tahun Indonesia bertumpu pada KUHAP lama yang dinilai tak lagi memadai untuk menjawab kebutuhan zaman.
Pengesahan dilakukan di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, pada Selasa (18/11/2025). Pemerintah turut hadir melalui Menteri Hukum Supratman Andi Agtas. Puan menegaskan bahwa UU KUHAP yang baru ini akan berlaku mulai 2 Januari 2026, memberikan masa transisi jelang implementasi penuh pada awal tahun mendatang.
“Melalui forum ini kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada seluruh pihak yang telah berperan dalam pembahasan RKUHAP,” ujar Puan dalam rapat tersebut. Setelah mengetok palu, ia menambahkan bahwa pembaruan ini merupakan penyesuaian penting agar proses hukum nasional mengikuti perkembangan regulasi dan teknologi.
Dalam penjelasannya kepada awak media, Puan menegaskan bahwa pembaruan KUHAP adalah kebutuhan mendesak. UU yang lama dinilai tidak lagi relevan menghadapi dinamika kejahatan dan teknologi digital yang terus berkembang. Menurutnya, penyusunan aturan baru telah melibatkan banyak pemangku kepentingan demi memastikan keadilan yang lebih responsif terhadap zaman.
Ketua Panja RKUHAP sekaligus Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, turut memaparkan sejumlah poin substansial. Ia menegaskan bahwa KUHAP baru secara jelas mengatur mekanisme restorative justice, mulai dari definisi hingga pelaksanaan kesepakatan dan penetapan pengadilan. Aturan baru ini, menurutnya, memperkuat hak korban sekaligus menyediakan jalur penyelesaian non-litigasi yang terukur.
“Restorative justice telah diatur lebih rinci dalam pasal 79–88, termasuk mekanisme dan jaminan pemenuhan kesepakatan,” kata Habiburokhman, Selasa (18/11/2025).
Ia juga menepis berbagai hoaks yang beredar mengenai kewenangan penyadapan dan penangkapan. Beredar kabar bahwa polisi akan memiliki kekuasaan menyadap tanpa izin pengadilan, menyita barang, bahkan membekukan tabungan secara sewenang-wenang. Habiburokhman menegaskan seluruh informasi tersebut tidak benar.
“Informasi tersebut adalah hoaks, alias tidak benar sama sekali,” ujarnya. Ia menegaskan bahwa Pasal 136 ayat (2) KUHAP baru menyatakan penyadapan hanya bisa dilakukan berdasarkan undang-undang khusus yang akan dibahas terpisah dan tetap mensyaratkan izin pengadilan.
Lebih lanjut, Pasal 140 ayat (2) mengatur bahwa pemblokiran tabungan maupun jejak digital hanya dapat dilakukan dengan izin hakim. Pasal 44 menegaskan penyitaan wajib mendapat izin Ketua Pengadilan Negeri. Sementara ketentuan penangkapan dan penahanan diatur lebih ketat, termasuk syarat minimal dua alat bukti serta kewajiban memastikan alasan hukum yang jelas sebelum tindakan diambil.
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan kompleksitas kejahatan, revisi ini diharapkan menjadi fondasi hukum acara pidana yang lebih kokoh, akuntabel, dan sesuai tuntutan masyarakat modern.
Dengan pengesahan ini, Indonesia bersiap memasuki awal tahun 2026 dengan instrumen hukum acara pidana yang diperbarui secara komprehensif. DPR dan pemerintah berharap aturan baru ini mampu memperkuat keadilan, melindungi hak warga, dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap proses penegakan hukum.
