Jakarta – Universitas Gadjah Mada (UGM) menyampaikan keterangan mengejutkan dalam sidang sengketa informasi publik di Komisi Informasi Pusat (KIP) pada Senin (17/11/2025). Kampus menyatakan tidak lagi menguasai beberapa dokumen akademik milik Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi), termasuk Kartu Rencana Studi (KRS) serta laporan Kuliah Kerja Nyata (KKN) saat beliau menempuh pendidikan di Fakultas Kehutanan. Pernyataan itu muncul saat majelis memeriksa perkara yang diajukan Koalisi Bongkar Ijazah Jokowi (Bonjowi).
Dalam sesi pemeriksaan yang melibatkan KPU DKI Jakarta, KPU Surakarta, serta Polda Metro Jaya, Ketua Majelis Rospita Vici Paulyn meminta klarifikasi terkait keberadaan Kartu Hasil Studi (KHS), KRS, hingga dokumen KKN. Pemeriksaan dimulai dari verifikasi dokumen yang biasanya tersimpan dalam rekam akademik mahasiswa.
Ketika ditanya soal KHS, perwakilan UGM menyebutkan bahwa dokumen tersebut masih ada. Namun, ketika pertanyaan bergeser ke KRS, jawaban berubah drastis.
“Tidak ada itu. Enggak ada ya. Dan kami telah mencoba dengan sedemikian rupa,” ujar perwakilan UGM dalam sidang.
Rospita kemudian memastikan ulang apakah pencarian sudah dilakukan hingga tingkat fakultas, dan perwakilan UGM kembali menegaskan tidak ditemukannya arsip tersebut. Ia menjelaskan bahwa pada masa perkuliahan Jokowi, KRS lazimnya dipegang mahasiswa serta dosen pembimbing, sehingga kampus kemungkinan tidak menyimpan arsip fisiknya.
Penelusuran selanjutnya menyasar dokumen laporan KKN, tetapi jawaban yang muncul pun serupa. “Laporan Kuliah Kerja Nyata itu juga apa ya, itu tidak ada, gitu ya,” kata pihak UGM.
Dalam persidangan, UGM juga menyampaikan bahwa mereka tidak lagi memegang salinan ijazah Jokowi yang pernah diberikan kepada Polda Metro Jaya dalam penyidikan kasus Roy Suryo Cs. Meski demikian, kampus menyatakan masih memiliki salinan digital berupa hasil pemindaian.
“Iya, eh yang kita serahkan ke Polda itu yang salinan yang asli gitu Ibu,” jelas perwakilan UGM.
Ketika ditanya soal dokumen lain, ia menambahkan, “Photo scan-nya tentu ada.”
Perdebatan muncul ketika UGM menyebut sebagian dokumen tergolong informasi pribadi yang dikecualikan. Namun Rospita menegaskan bahwa fokus sidang bukan pada keterbukaan data, melainkan keberadaan fisik dokumen tersebut.
“Enggak, terlepas dari itu dulu. Ini kan persoalannya, dari pihak UGM kemudian menjawabnya tidak dalam penguasaan. Tidak dalam penguasaan itu kan pengertiannya tidak ada berarti. Nah, ada atau enggak nih?” tegas Rospita.
Pengakuan UGM ini kembali memantik diskusi publik terkait standar pengarsipan pada era 1980-an serta implikasinya terhadap sengketa informasi yang sedang berlangsung. Polemik mengenai keutuhan dan keberlanjutan arsip akademik tokoh publik pun diprediksi masih akan berlanjut dalam persidangan selanjutnya.
