Jakarta – Ketua DPP PDI Perjuangan, Deddy Yevry Sitorus, mempertanyakan peran Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI dalam kasus pemanggilan anggota DPR Rieke Diah Pitaloka terkait penolakannya terhadap rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Menurutnya, MKD seharusnya melindungi kebebasan berbicara anggota dewan, bukan menjadi alat untuk menghukum atau membatasi kritik.
“Seharusnya MKD dibuat untuk melindungi kebebasan anggota DPR berbicara. Sangat berbahaya jika MKD dipakai untuk menggunting lidah para anggotanya,” ujar Deddy dalam keterangan tertulis, Senin (30/12/2024).
Pemanggilan Rieke, yang dikenal dengan perannya sebagai “Oneng” di dunia hiburan, terjadi setelah ia menyampaikan kritik terhadap kenaikan PPN dalam Rapat Paripurna DPR, Kamis (5/12/2024). Pernyataan ini kemudian diunggah di media sosial dengan tagar seperti #TolakKenaikanPPN12%. Aduan masyarakat menyebut unggahan tersebut memprovokasi publik, yang menjadi dasar pemanggilan oleh MKD.
Deddy menyebut bahwa tindakan ini bisa mengurangi daya kritis anggota DPR dan berpotensi membuat masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap lembaga tersebut. “Jika setiap sikap kritis dianggap pelanggaran etik, maka DPR hanya akan menjadi stempel bagi kekuasaan,” tambahnya.
MKD DPR RI, melalui Ketua Nazaruddin Dek Gam, sebelumnya mengonfirmasi bahwa sidang terkait kasus Rieke akan dijadwalkan ulang setelah masa reses DPR berakhir pada 20 Januari 2025.
Deddy menegaskan bahwa DPR adalah lembaga yang bertugas menjalankan fungsi check and balances terhadap pemerintah. Ia juga menyoroti pentingnya anggota DPR untuk terus menyuarakan aspirasi rakyat. “Kalau anggota DPR tidak bersuara, untuk apa rakyat membayar gaji mereka dari APBN?” pungkasnya.
Langkah MKD ini memicu perdebatan di masyarakat, dengan sejumlah pihak mendukung Rieke karena dianggap memperjuangkan kepentingan rakyat, sementara yang lain menilai bahwa penyampaian kritik harus tetap berada dalam koridor etika politik.